Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Davin masih berkutat dengan tugas sekolahnya. Duduk di meja belajar sambil mengetuk-ngetukkan ujung puplen dengan buku. Tidak fokus. Davin tidak mengerjakan soal-soal itu sejak tadi. Pikirannya malah melayang entah ke mana saja.
"Kak?"
Panggilan itu membuat Davin menggulirkan mata ke samping. Hantu bocah itu tiduran di atas kasur. Memutar badan hingga dia telungkup. Davin kembali tidak mengacuhkannya.
"Kakak udah ngasih kalung kakak?" tanya hantu itu. Sesaat, Davin mengernyitkan dahi tidak ingat. Sebelum akhirnya dia melotot horor, tangannya yang memegang pulpen langsung mengeras dan mematahkan benda panjang itu.
Davin meredam emosi. Menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya. Dilemparnya patahan pulpen di tangannya hingga membentur tembok dingin. Dia bersandar sambil mendesah kesal. Menutup wajah dengan kedua telapak tangan.
"Sialan!"
Hantu bocah itu menutup telinganya. Mencebik, merasa dirinya masih kecil dan tidak boleh mendengar seruan kasar seperti cowok indigo itu.
Davin mengeraskan rahang. Dia masih ingat kalung yang dibelinya saat di pasar malam itu masih ada di saku kemeja seragamnya. Kalau sampai Aqilla menemukannya, entah Davin mau bilang apa.
"Kenapa, Kak?"
Davin menoleh dingin. Masih tidak mood untuk membahas kalung itu lebih lanjut. "Gak apa-apa. Jadi, mending lo diem."
Tidak lama kemudian, terdengar suara bel. Mengalihkan atensi dua makhluk dalam ruangan setengah remang itu. Siapa? Rasanya papanya tadi sudah berpamit untuk pulang larut. Walau sebenarnya juga Davin tidak peduli, sih.
Beranjak dari kursi sebab bel itu tidak mau berhenti, Davin jadi geram sendiri. Seseorang memainkan bel rumahnya. Berjalan agak cepat, menuruni tangga dengan buru-buru, Davin bersumpah akan mematahkan tangannya jika orang itu tidak memiliki kepentingan apapun.
Hingga di depan pintu, Davin langsung membuka kunci dan menarik knop. Matanya seketika langsung membelalak mendapati Aqilla berdiri dengan tangan masih menekan bel. Cewek itu nyengir, menurunkan kembali tangannya.
"Lo ngapain ke sini? Di rumah lo gak ada jam?" Davin bersandar pada daun pintu, melipat kedua tangan di depan dada dan melempar sorot dingin.
Mengulum senyuman tipis, tangan Aqilla lantas menyodorkan sebuah kantong tas. Cowok di depannya hanya mengangkat sebelah alis. "Seragam kamu. Udah aku setrikain sekalian."
Menerima kantong tas itu, sambil mengangukkan kepala. Davin kemudian berkata, "Hm. Pulang sana."
Melongo, Aqilla memandang Davin tidak percaya. Cowok itu bahkan sudah bergerak hendak menutup pintu. Buru-buru Aqilla menahan dengan kedua tangannya. Membuat celah kecil, cewek itu mendorong sekuat tenaga. Tapi, Davin juga ikut menahan pintu. Seolah memang tidak diizinkan untuk masuk.
Aqilla memelototkan mata semakin tidak percaya. "Kamu ngusir aku? Davin, buka dulu pintunya."
"Urusan lo udah selesai, kan? Ya udah pulang sana!" Nada suara cowok itu makin tinggi. Dari dalam Davin kelihatan gelagapan. Tangannya terus berusaha menutup pintu, tapi sedari tadi Aqilla masih saja menahannya.
Cewek itu mengembuskan napas kesal. "Kamu gak mau nawarin aku masuk? Dingin loh, Vin."
"Gak."
Aqilla berdecak makin kesal. Tapi, tidak mau juga menyerah dan membiarkan Davin mengusirnya. "Aku gak mau pulang sebelum masuk. Buka pintunya, Davin!"
"Gak akan! Pulang sono!"
Sekali dorongan Davin langsung mengunci pintu rumahnya. Aqilla menganga, membeku sangking bingungnya harus berbuat apalagi. Aqilla tidak mengerti dengan Davin. Kenapa cowok itu sebegitunya menghindarinya? Membiarkannya malam-malam sendirian di luar rumahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unseen [END]
Terror"Gak peduli lo iblis atau apa pun. Sentuh Aqilla, gue bunuh." ~Davin Raygard. *** Aqilla Iluvia menjadi mangsa iblis selanjutnya setelah habis keluarganya dimakan hidup-hidup. Diteror, dikelilingi kegelapan yang tiada henti. Aqilla nyaris kehilanga...