PAGI-PAGI sekali Davin sudah menapak di parkiran sekolah. Ia melepas helm, menyangkutkannya di kaca spion. Turun dari motor, ia langsung menarik tudung jaketnya. Davin tidak suka terlalu terbuka. Baginya jaket pemberian mamanya ini mutlak dipakai. Tidak peduli apapun yang terjadi, tidak pernah sekalipun Davin melepas jaket kesayangannya kecuali tidur.Semenjak sang mama meninggal, Davin berubah menjadi tertutup. Davin sudah tidak pernah mau dipedulikan atau memedulikan orang lagi. Luka yang sang papa torehkan masih utuh tak tersentuh. Semakin lama kian membusuk, membawa penyakit yang Davin sendiri tidak tahu cara menyembuhkannya.
Davin masih ingat bagaimana papanya mencampakkan Davin dan mamanya. Saat itu Davin masih kelas tujuh. Mamanya menderita gagal ginjal. Tapi, sang papa mengacuhkannya, tidak mau membiayai pengobatan sang mama. Davin terus memohon, bahkan sampai menciumi kaki sang papa. Mamanya semakin histeris. Davin tidak bisa mengontrol betapa inginnya mamanya sembuh. Tapi, tetap saja papanya tidak mau peduli.
Mamanya mengajak Davin untuk berdiri. Mengatakan bahwa ia tidak akan pernah mau meminta sepersen pun uang dari sang suami. Ia akan berusaha menghidupi dirinya dan Davin. Ia tidak akan membiarkan Davin rela-rela bersujud pada orang lain hanya demi dirinya. Ia tidak akan membiarkan putra satu-satunya menangis seperti orang gila hanya karena dirinya.
Sejak itu Davin dan mamanya hidup berdua. Tapi, tidak sampai satu bulan, mamanya kemudian meninggal. Davin gagal menjaga mamanya. Lantas di saat itu papanya datang, mengatakan bahwa ia menyesal. Papanya memaksa membawa Davin kembali ke rumah. Cowok itu hanya menurut tanpa sepatah katapun.
Jiwa Davin sudah mati. Rasa sakit telah mengubur semua perasaannya. Lukanya terlalu besar untuk seorang anak.
Ia kehilangan satu-satunya orang yang peduli di saat semua menjauhi Davin.
“Satu-satu ... aku sayang ibu.”
Seorang cewek berdaster putih kebesaran membuka tutup jendela koridor. Separuh wajahnya tertutupi rambut sepanjang mata kaki. Kepalanya memiring. Ia menyanyi dengan suara melengking.
“Dua-dua ... masih sayang ibu.”
Davin berhenti melangkah. Ia mengenal cewek yang telah meninggal di depannya ini. Namanya Rena, teman satu kelasnya waktu kelas sebelas. Dia meninggal karena bunuh diri. Depresi tidak merelakan ibunya yang dibunuh ayahnya.
“Tiga-tiga. Aku ... benci-benci-benci ayah.”
Matanya melirik Davin. Bibirnya tersenyum lebar sampai robek ke telinga. Rambutnya tersibak angin, menunjukkan wajah hancur setengah busuk. Ia berjalan mendekati Davin. Kedua tangannya terulur.
“Davin, to–long.”
Davin bergeming. Sedetik kemudian, ia meludah. Merasa jijik dengan tingkah hantu di depannya ini. Rena sendiri yang memutuskan untuk mati menyusul ibunya. Bukan urusan Davin memedulikan dia.
“Eh? Davin?”
Aqilla mengerjap beberapa kali. Mematung jauh di depan Davin yang bergeming. Cewek itu berdiri di pertigaan koridor. Kedua tangannya memegangi tas. Aqilla berangkat kepagian karena takut terlambat seperti kemarin.
Hantu cewek itu menoleh ke belakang. Menatap Aqilla dari atas sampai bawah. Linglung, belum pernah dia lihat cewek itu sebelumnya. Dia berbalik menatap Davin. Lalu Aqilla lagi.
“Murid baru?”
Hantu itu memiringkan kepala. Lantas berbalik mendekati Aqilla yang berjalan ke arah Davin.
Merasa akan terjadi sesuatu, Davin berjalan cepat mendahului hantu cewek itu. Dia menarik tangan Aqilla pergi dari koridor sana sebelum hantu itu menyentuh Aqilla. Davin menyeret Aqilla ke kelas mereka. Masih sepi hanya mereka berdua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unseen [END]
Horror"Gak peduli lo iblis atau apa pun. Sentuh Aqilla, gue bunuh." ~Davin Raygard. *** Aqilla Iluvia menjadi mangsa iblis selanjutnya setelah habis keluarganya dimakan hidup-hidup. Diteror, dikelilingi kegelapan yang tiada henti. Aqilla nyaris kehilanga...