37. Selamat Tinggal

144 8 0
                                    

Menegang.

Aqilla bahkan tidak bisa mengalihkan mata dari pemandangan di depannya ini. Davin sudah menyerang duluan. Mengayunkan berbagai hantaman tanpa jeda. Tapi, pria dalam artian iblis itu hanya mundur dan mengelak. Seolah yang Davin lakukan seperti anak kecil yang berusaha menggapai permen yang diambilnya.

Tidak, Aqilla tahu Davin tidak selemah itu. Sampai sedetik kemudian, cowok itu menjegal kaki pria itu tanpa aba-aba, membuat si empunya langsung terguling masuk dalam air. Aqilla memekik tertahankan. Sebenarnya ia tidak mengerti cara main Davin. Tapi, cowok itu terlihat tengah memanfaatkan sesuatu.

Menggulirkan kelereng menatap punggung sang indigo, Aqilla memanggil, "Davin."

"Gue gak apa-apa." Dia menyahut, sedikit menengok ke belakang, memastikan Aqilla juga masih baik-baik saja di jarak semula. Mata Aqilla memancarkan sinar kekhawatiran. Davin tergugu selama beberapa saat. Sebelum akhirnya tertawa kecil dengan suara merdu. "Lo ... khawatir banget sama gue. Gue gak akan kenapa-kenapa, La."

"Ayo, pergi." Baru saja Aqilla hendak melangkah, tapi Davin sudah memberi pelototan horor. Tidak boleh mendekat sedikit pun. Aqilla menyorot sendu. Davin tetap menggeleng di tempatnya. "Davin, ayo, kita punya kesempatan buat pergi."

"Gak akan ada gunanya juga kabur. Lo sendiri tahu itu, kan?"

"Tapi, seenggaknya kamu gak perlu berurusana sama dia lagi, Davin. Jadi, ayo pergi." Aqilla memohon. Takut kalau-kalau iblis itu muncul lagi. Tapi, Davin tampak sebal. Melayangkan tatapan dingin.

"Lo pergi aja. Tungguin gue di luar."

"Kamu gak waras, Davin!" Aqilla setengah berteriak. Tidak habis pikir dengan cowok satu ini. Mengapa dia begitu ingin melawan iblis itu? Davin tidak pernah mengerti sekhawatir apa Aqilla jika Davin berkelahi dengan makhluk pembangkang itu. Dan bodohnya Aqilla tidak pernah bisa menarik Davin keluar dari permasalahannya. "Nyawa kamu yang lebih penting. Jadi, ayo kita pergi sama-sama."

"Gue gak selembek itu. Gue ngelakuin ini juga buat lo." Davin memalingkan wajah, menatap kolam yang tampak tenang tak memunculkan tanda-tanda. Tetap melanjutkan dengan suara menekan, "Gue gak bisa biarin dia terus neror lo. Lo gak pernah ngerti segak waras apa gue kalau sampe lo kenapa-napa, La. Lo gak pernah ngerti."

Aqilla mengatupkan bibir. Tidak tahu harus berbuat apa lagi. Mereka sama-sama di ambang kegilaan masing-masing. Sebelum sebentar lagi akan benar-benar kehilangan akal karena satu sama lain.

Davin menunduk, memandang lantai hampa. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuh. Dia tidak akan mengizinkan siapapun menyakiti Aqilla. Tidak sedikit pun. Karena ...

"Gue cinta sama lo."

Aqilla terpaku pada punggung itu. Sebelum akhirnya tersenyum sampai matanya menyipit, ada air yang menetes menyusuri pipi.

"Aku juga cinta. Aku cinta Davin."

Bodoh. Iya, Aqilla memang sebodoh itu. Padahal dia sendiri sadar. Cinta mereka sendiri yang akan membunuh mereka perlahan. Dengan semua yang terjadi saat ini, dengan yang Aqilla lakukan dan Davin korbankan, tidak akan ada hasil yang memuaskan. Mereka tidak akan pernah bisa bersama. Entah mengapa rasanya seseorang sudah membisikkannya begitu.

Bukannya pesimis. Tapi, Aqilla tahu. Iblis itu sudah mencengkeram lama lehernya. Tinggal menunggu sampai dia memutus kehidupan milik Aqilla. Dan semua berakhir. Mereka kehilangan satu sama lain.

"Davin-"

Gelembung-gelembung bermunculan di permukaan air. Mengalihkan atensi Aqilla seperkian detik. Seluruh air dalam kolam seolah mendidih. Cewek itu mundur tanpa sadar. Davin mengangkat pandangan, menatap datar tidak berarti.

Unseen [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang