18. Yang Membutuhkamu

450 24 0
                                    

SUNYI.

Hal pertama kali yang Davin lihat adalah langit-langit putih, sinar lampu yang menyorot begitu tajam menusuk mata. Dia mengerjap beberapa kali menetralkan penglihatan.

Meluruskan pandangan, matanya kemudian bergulir menatap sepang infus di sisi kirinya. Tangan kanannya juga terasa berat. Membuat Davin menoleh penasaran. Dia mendapati sesosok cewek tidur menenggelamkan wajah dalam lipatan tangannya yang menggenggam tangan Davin. Erat sekali.

Sejak kapan Davin berada di rumah sakit? Sejak kapan cewek –yang tanpa diberitahu ia yakin adalah Aqilla– ada di sini?

Mengalihkan pandangan ke bawah kakinya, Davin memasang raut wajah datar. Menatap dingin sesosok bocah yang duduk bersila sambil nyengir memperhatikan Davin. Hantu itu lagi rupanya. Kenapa dia bisa ada di sini juga?

“Kakak, tadi aku kirim pesan sama pacar Kakak. Makanya Kakak bisa ada di sini.”

Dia menjawab bahkan sebelum Davin bersuara sepatah dua patah kata. Cowok yang berbaring lemas itu mengangguk samar-samar. Tidak mau memprotes Aqilla yang disebut sebagai pacarnya.

“Kakak, Kakak tahu, gak?” Hantu bocah itu merangkak sampai ke lutut Davin. Mulai berceloteh ria. “Tadi, pacar Kakak khawatir banget loh. Sampe nangis-nangis segala. Pacar Kakak nelepon siapa gitu, terus melukin Kakak terus ampe lama.”

Davin hanya diam, melirik cewek yang tertidur nampak pulas di sisinya. Terdengar lenguhan, kepalanya bergerak menoleh. Aqilla menegakkan punggung, tertegun mendapati Davin sudah membuka mata. Davin memperhatikan wajah pucat itu lama.

“Davin? Kamu gak apa-apa?”

“Gue lagi males ngomel hari ini. Tolong, jangan buat gue senewen terus.” Menjeda sejenak, dalam hati Davin bertanya kenapa Aqilla melihatnya tanpa berkedip. Dia mengerutkan dahi, memicingkan mata tajam. “Lo ... kenapa mandangin gue kayak gitu?”

“Luka kamu, kata dokter agak dalem. Kamu disuruh buat nginep minimal satu atau dua malem lagi.”

Davin mengangguk.

“Davin,” panggil Aqilla. Suara cewek itu terdengar parau. Menunduk, memainkan seprai kasur brankar itu, Aqilla melanjutkan, “Yang nyerang kamu semalem, apa itu hantu yang biasa gangguin aku? Apa gara-gara aku kamu jadi luka kayak gini?”

Hening.

Mendadak suasana dalam ruangan itu terasa lebih berat. Bukan salah kalau Aqilla berpikiran seperti itu. Davin memaklumi cewek itu menyalahkan dirinya. Sejak awal kedatangan Aqilla, Davin merasa dirinya terlalu ikut campur dengan urusan hantu. Eksistensinya mampu mengubah haluan hidup Davin.

Tapi, Davin tidak pernah menyalahkan Aqilla. Karena, semua yang dia lakukan memang berdasar pada apa yang dia inginkan.

“Hm. Gak sepenuhnya bener, sih. Gue emang gak pernah suka sama 'mereka'.” Davin menerawang sesaat. Sebelum akhirnya kembali menoleh ke arah Aqilla yang masih tertunduk. Berdecak kesal, berkata, “Jadi, stop ngerasa bersalah dengan lo terus-terusan nunduk kayak gitu.”

Aqilla mengangkat pandangannya. Menatap Davin dalam-dalam. Lalu tersenyum menyakitkan.

***

“Davin, aku bawain kamu martabak, ayo makan bareng!” Cewek dengan rambut digulung kanan dan kiri itu menyembulkan kepala, menunjukkan kresek putih dengan cengiran lebar.

Menoleh spontan, Davin melempar pelototan tajam pada Aqilla. “Berhenti teriak pake suara cempereng lo. Berisik!”

“Iya-iya.” Berjalan masuk dan menutup pintu, Aqilla menaruh plastik di tangannya di nakas dekat brankar. Mendudukkan diri di kursi yang sejak semalam tidak berpindah tempat. Dia masih mempertahankan senyuman. “Gimana keadaan kamu?”

Unseen [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang