9. Berusaha Melindungi

258 11 0
                                    

“LO bener-bener kebo, ya?«

Sesaat kemudian, manik cokelat tersembunyi itu mulai kelihatan. Aqilla menggosok-gosok matanya, membelalak ketika mendapati Davin berdiri dengan jaket seperti biasa. Aqilla segera mengumpulkam nyawa. Bangun dari posisi tidurnya.

Cewek itu mendongak menatap tidak percaya. Davin hanya bergeming tidak peduli. “Kamu gimana bisa masuk ke kamarku?!”

Dia hanya mengendikkan bahu. “Pintu depan gak kekunci. Pintu kamar kebuka dikit. Dasar teledor!”

Cowok itu menyentil kening Aqilla hingga membuat si empunya mengaduh. Mengusap-usap dahinya sambil memberengut kesal. Aqilla menepis selimutnya, duduk dengan kaki menjuntai ke lantai. Davin memilih ikut mendudukkan diri di sofa dalam kamar cewek itu.

Menjaga jarak sebenarnya.

“Kamu ngapain di sini?” tanya Aqilla, sedetik kemudian dia memicingkan mata curiga, “kamu mau ngapa-ngapain aku, ya? Mentang-mentang aku di rumah sendirian.”

“Gue pengen lelepin lo tadi niatnya. Suapaya lo gak gangguin gue mulu.” Davin berkata enteng, menyilangkan kedua kakinya bersandar.

“Kamu emang gak ada duanya.” Aqilla berkomentar sinis.

“Mandi sana! Gue tinggal nanti.”

“Ih, kamu keluar dulu. Mau ngintip aku ya?”

“Gak sudi!” Davin segera menegakkan punggung, segera meninggalkan kamar dengan Aqilla yang sudah tersenyum-senyum tidak jelas. Cowok itu kemudian benar-benar menghilang dari pandangan Aqilla. Cewek itu terkikik kesenangan.

Aqilla buru-buru masuk dalam kamar mandi. Tidak peduli dengan kasur yang belum diberesinya. Cewek itu mandi secepat kilat, keluar dengan seragam sudah melekat di tubuhnya. Aqilla berdiri di depan kaca, menyisir rambutnya beberapa kali, memakai bedak lalu meraih tasnya yang teronggok di atas meja belajar.

Sebenarnya Aqilla tidak ingin kalau pintu depan tidak dia kunci semalam. Apalagi pintu kamar yang 'katanya' sedikit terbuka. Padahal jelas-jelas Aqilla sudah menutupnya rapat-rapat.

Tapi, nyatanya pada akhirnya Aqilla tidak akan peduli juga. Yang dipikirkannya bagaimana bisa seorang Davin ke rumahnya. Senyum manis terukir di wajahnya. Aqilla menenteng tas di pundak, segera keluar kamar berlari menuruni tangga.

Davin duduk di salah satu sofa. Dia menolehkan kepala ketika mendengar derap langkah mendekatinya. Aqilla berdiri di depan cowok itu. Kedua tangannya memegangi tali tas di kanan dan kiri, tersenyum manis.

“Yuk, berangkat!”

“Gak sarapan dulu?” tanya Davin mengernyitkan dahi.

Aqilla menggeleng. “Karena bangun kesiangan, aku gak masak. Aku bisa sarapan nanti di kantin.”

Davin hanya bergumam. Dia berdiri, berjalan mendahului sang pemilik rumah. Aqilla mengekori dari belakang. Menutup pintu dan menguncinya dua kali ketika sudah di luar, sedang Davin menaiki motor dam memakai helmnya.

Berbalik, Aqilla hanya bergeming di tempat menunggu Davin menyiapkan motornya. Cowok itu menyalakan kendaraan roda dua pemberian sang papa. Menoleh ke arah cewek yang sedari tadi diam mematung. Dia menggerakkan dagunya ke belakang. Menyuruh Aqilla untuk naik tanpa basa-basi.

Senyum lagi-lagi tercetak di bibir berwarna cewek itu. Entah setan mana yang tiba-tiba menemploki Davin sampai membolehi Aqilla menebeng cowok itu. Dia langsung berlari meghampiri Davin. Memegang pundak cowok itu dan mendudukkan diri di belakangnya. Tanpa aba-aba, Aqilla langsung memeluk Davin erat. Memejamkan mata.

Untuk sesaat Davin bergeming. Tidak segera menjalankan motor padahal sudah menyalankannya sedari tadi. Membuat Aqilla kembali membuka mata walau tetap pada posisi semula. “Kenapa gak jalan?”

Unseen [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang