34. Aku Masih di Belakangmu

135 9 0
                                    

“La.”

Yang dipanggil mengangkat wajah dari lipatan tangannya. Menegakkan punggung dan menolehkan kepala. Aqilla baru sadar ada Ara yang sudah duduk di sebelah entah sejak kapan.

Mereka berada dalam perpustakaan. Alasan yang paling Aqilla gunakan adalah mencari kesunyian. Untuk sesaat, dia ingin merenungi apa yang telah dia katakan pada Davin. Dan sungguh, itu bukan kebohongan sama sekali. Tidak peduli Davin akan berpikir apa.

“Lo ada masalah sama Davin? Kalian keliatan lagi berantem.” Ara bertanya hati-hati.

Menggelengkan kepala dua kali, Aqilla menipiskan bibir. “Gak ada masalah serius.”

“Gue gak akan maksa. Cuma kalo lo emang bener-bener butuh seseorang, ada gue, La. Lo jangan dengerin omongan mereka.”

Aqilla tersenyum sampai matanya menghilang. “Makasih, Ara.”

Sesaat, senyum Aqilla perlahan memudar. Ada yang berbeda dari senyum Ara. Hingga beberapa saat kemudiam, mata Aqilla membelalak saat mendapati wajah Ara terbelah dan mengucurkan darah. Hanya dalam sedetik wajah cewek di sampingnya meledak. Darah terciprat mewarnai seluruh wajah Aqilla.

***

Aqilla membuka mata.

Aqilla menatap tembok di depannya hampa. Mengumpulkan nyawa, dirinya masih dalam posisi sama seperti semula. Kepalanya meneleng tertidur di atas lipatan kedua tangan yang mengepal. Wajah Aqilla agak pucat. Bibirnya terkatup rapat-rapat.

Menegakkan punggung, menolehkan kepala ke sisi kanan memastikan keberadaan Ara barusan benar-benar hanya bunga tidur semata. Aqilla juga mengedarkan pandangan. Tidak menemukan siapa pun dalam ruangan perpustakaan. Dari kursinya duduk juga, Aqilla tidak bisa melihat penjaga perpustakaan. Sepertinya pelajaran telah dimulai.

Aqilla menumpukan satu sikunya di atas meja, memijat pangkal hidung sambil menutup mata. Sampai kapan semua ini akan menghantui dirinya? Nyaris setiap Aqilla menutup mata selalu ada kejadian menyeramkan yang dia lihat. Sesuatu itu tidak pernah membiarkan Aqilla mencari celah kehidupan barang sedikit saja.

“Ini semua ... gak akan pernah berakhir kecuali kalau kamu mati, Aqilla. Kamu mati.”

Menarik kelopak mata terbuka, Aqilla terperangah akan suara membisik di telinganya itu. Dia mengerlingkan sepasang kelereng cokelatnya ke kanan dan kiri, berwaspada. Tidak ada juga tanda-tanda kehadiran iblis itu.

Beranjak dari bangkunya, Aqilla memilih melangkahkan kaki keluar perpustakaan. Pergi menyusuri koridor ke taman belakang sekolah. Aqilla tidak akan bisa mengikuti pelajaran. Kepalanya dipenuhi kekacauan oleh iblis itu dan Davin.

Ia kembali menjauhi Davin setelah kejadian beberapa hari di rooftop. Davin hanya akan terluka jika terus berurusan dengannya. Makanya, Aqilla tidak boleh egois dengan perasaannya. Ia yang harus mundur sejauh mungkin.

Entah pada akhirnya dia mati sekali pun, setidaknya tidak perlu ada yang terluka karenanya.

“Eh? Geotrama?”

Lamunan Aqilla terbuyarkan oleh panggilan terkejut itu. Kakinya berhenti di tempat. Meluruskan pandangan, mendapati Andra duduk di bangku taman sendirian. Cowok itu menelengkan kepala ke arahnya, bibirnya mengulas seringaian tipis. Beralih bangun dari duduknya, dia memperpendek jarak antara mereka.

Kedua tangan Andra dalam saku celana. Tidak menggulirkan manik ke mana-mana selain pada wajah Aqilla. Dia menarik napas panjang dan mengembuskannya. “Lo ... selalu cari masalah. Gak ada habis-habisnya.”

Tidak mau mendengarkan lebih jauh, Aqilla lantas membalikkan tubuh. Hendak mengambil langkah pergi dari tempat ini.

Tapi, tiba-tiba tangannya dicekal. Ditarik paksa ke belakang hingga dia menabrak dada Andra. Cowok itu memdekatkan wajah mereka. Semakin mencengkeram tangan cewek mungil itu tanpa mengindahkan ringisan yang keluar dari bibir pucat itu.

“Kenapa lo gak pernah puas sama yang lo lakuin?” Andra mendesis. Menajamkan penglihatan, hidung mereka nyaris bersentuhan. Tangan satu Andra menahan pinggang Aqilla. Sekeras apapun cewek itu berontak, Andra tidak mau melepaskan. “Gue benci sama lo. Benci banget. Tapi, kenapa gue selalu resah setelah gue coba nyakitin lo, ha? Kenapa?!”

“Andra, lepas!” Aqilla mendorong dada cowok itu. Tapi, percuma. Tenaganya terbuang sia-sia. Tidak ada satu langkah pun yang mampu cewek itu ambil. Sementara tangannya sudah nyaris patah dicekal terus-terusan.

“Gue pengen ngelihat lo lebih luka lagi. Supaya gue bisa mastiin apa yang gue rasain.”

Aqilla tidak mengerti dengan kata-kata cowok itu. Tapi, yang pasti dirinya harus lepas dan tidak bertemu lagi dengan Andra. Aqilla mencoba menarik tangannya, berteriak, “Andra lepasin tangan aku!”

Andra mendengkus. “Lo gak denger gue bilang apa tadi? Lo gak akan pernah gue lepasin! Gak akan sebelum semuanya jelas!”

“Tapi, sakit!”

“Itu yang gue mau! Gue butuh rasa sakit lo lebih dari ini. Gue ... cuma mau mastiin sesuatu.” Tangan Andra langsung menarik tengkuk Aqilla. Cewek itu terkejut, hanya merapatkan mata tidak mau melihat yang terjadi.

Tapi, belum sempat Andra mencium bibir Aqilla, seseorang menarik bajunya dari belakang. Menghantamkam pukulan telak ke pipi cowok itu hingga tersungkur. Aqilla mundur selangkah dengan mata melebar. Sedikit menggeser bola mata dan dia menemukan Davin. Cowok dengan muka memerah, raut bengis dan tangan terkepal.

Meringis, mengusap lebam yang kembali menghias di wajahnya, Andra bangun dari jatuhnya. Berdiri melemparkan sorot tajam penuh permusuhan pada sesosok berjaket hitam di depannya. Dia tertawa kecil. Berusaha terlihat santai di saat Davin sudah dipenuhi amarah di ubun-ubun.

“Pengacau.”

“Dasar sampah.” Davin menghardik tajam. Mata elangnya tidak jua meredup. Tangannya merangkak bersembunyi dalam kedua saku jaketnya. Sesaat, ada senyum picik yang terukir di bibirnya. “Manusia kayak lo seharusnya mati dari lama.”

Tidak ada suara yang mampu Amdra balas. Hanya diam dalam pikirnya. Sebelum akhirnya dia mengangguk. Lantas menelengkan kepala, berkedip dua kali dan melanjutkan,“Gue paham. Jangan-jangan lo–”

Belum menyelesaikan kalimatnya, Davin langsung berlari menerjang. Melayangkan kepala tangan yang sudah mati-matian dia tahan. Aqilla memekik di tempat. Menutup mulutnya menahan jeritan kaget. Davin tidak berhenti menghajar Andra. Bahkan sampai lawannya tidak memiliki kesempatan berbalas selain mengelak.

Entah apa yang dipikirkan Davin. Rasanya tangannya tidak bisa membiarkan Andra bertindak lebih jauh. Matanya tidak mengizinkannya melihat Aqilla kembali terluka atau apapun yang membuatnya ikut merasa sakit. Davin semakin tidak bisa mengendalikan perasaannya. Bahkan tubuhnya sendiri.

“Davin, udah!” Aqilla setengah menjerit. Ingin melangkah tapi takut jika dirinya ikut terpukul. Tapi, rupanya cowok itu tidak mendengarkan. Bahkan lagi dan lagi, wajah Andra kembali babak belur setelah kejadian kelas waktu itu. “Davin!”

Masih tidak dihiraukan.

Tidak ada pilihan lain. Aqilla segera berjalan mendekat, berusaha menahan tangan Davin untuk tidak kembali menghantamkan pukulan pada Andra di bawahnya. “Davin, udah! Kamu bisa bunuh Andra!”

“Kenapa lo peduli?!” Davin menyentak tangan Aqilla. Teralihkan, dia mundur menghadap Aqilla. Matanya menyorot dalam-dalam manik bergetar di depannya. “Kenapa lo harus sepeduli ini, hah?”

“Dia temen kamu.” Aqilla menurunkan pandangan. Memalingkan wajah tidak mau bersitatap dengan sang indigo. “Gak seharusnya kalian berantem karena aku.”

“Bener.” Davin menatap hampa. Aqilla tetap tidak mau memutar wajahnya. Terdengar dengkusan, Davin berkata, “Semua gara-gara lo. Semuanya.”

Sedetik kemudian, Davin menabrak bahu Aqilla. Berjalan meninggalkan cewek itu tanpa mau peduli lebih jauh lagi. Tidak tahu harus berbuat apalagi. Aqilla sudah memutuskan. Namun, Davin tidak akan membiarkan cewek itu berbuat sesuka hati. Dia pikir dirinya siapa?

Cewek itu benar-benar membuatnya tidak waras. Maka dari itu ... sejauh apapun Aqilla melangkah, sedalam apapun Aqilla terjatuh, Davin tidak akan membiarkannya sendirian.

Dia ... akan selalu menjadi bayangannya. Satu-satunya.

***

Mohon vote dan komentar kalau suka, semua. Terima kasih bagi yang telah membaca.

Unseen [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang