SATU minggu sekolah masih heboh dengan peristiwa yang terjadi di toilet. Aqilla dan Hanna jadi topik hangat perbincangan setiap sudut gosip yang ada. Aqilla hanya jadi pendengar dalam diam saja. Sebenarnya ia agak sedikit terusik dengan bisikan-bisikan mereka. Tapi, sebisa mungkin ia bersikap biasa. Seolah tidak terjadi apa-apa.Helaan napas terembus perlahan dari hidung Aqilla. Suasana kantin agak lebih pengap dibanding hari-hari sebelumnya. Di depannya Ara tetap makan dengan tenang. Kelihatan tidak terusik dengan kebisingan yang menguar. Mata Aqilla mengedar, tanpa sengaja bersua dengan sosok yang lewat di depan pintu kantin.
“Davin?”
“Hm? Davin di sini?” Ara mendongak menatap Aqilla. Cewek itu celingukan mencari cowok indigo yang barusan lewat.
Aqilla menggeleng. “Cuma lewat.”
“Oh. Wajar, sih.” Ara berkomentar, lalu melanjutkan lagi makannya. Dia tidak akan bertanya apa-apa tentang Davin. Tipikal cewek yang tidak terlalu suka berurusan dengan cowok. Apalagi indigo dengan pendengaran setajam silet.
“Kenapa wajar?” tanya Aqilla.
Kembali mengangkat wajahnya. Menelan kunyahannya bulat-bulat, Ara mulai bercerita, “Davin itu gak pernah sekali pun ke kantin. Sesekali gue liat dia bekel terus suka makan sendiri. Kalau ada orang dia pindah tempat. Kalo gak salah, sih, dia biasa makan di taman belakang sekolah.”
Benarkah?
Sedetik kemudian, Aqilla menggebrak meja. Ara yang baru mau menyuap melotot horor. “Aku pergi dulu, Ra!”
Cewek itu beranjak dari duduknya, berlari meninggalkan hawa panas kantin yang semakin menjadi. Ara berdecak, kembali makan dengan hikmat.
Aqilla berjalan buru-buru mencari jejak Davin. Menengok ke setiap sudut koridor berharap Davin masih belum jauh. Tapi, nihil. Cowok itu tidak ada di mana-mana. Aqilla menghela napas. Ia kembali melangkah ke satu koridor lain.
Hingga ia berhenti di depan koridor terbuka, akhirnya Aqilla menemukan Davin. Duduk di bawah pohon sendirian, Kedua telinga cowok itu disumpal earphone. Matanya terpejam. Dia kelihatan tenang sekali.
Melangkah mendekat dan duduk di sampingnya, Aqilla memperhatikan setiap lekukan wajah Davin cermat. “Davin, kamu tidur?”
Suara Aqilla setengah berbisik. Mata cowok itu terbuka perlahan, lantas melirik ke arah Aqilla. Menghela napas, Davin lama-lama bosan setiap hari mendapati wajah cewek berisik itu.
“Lo ngapain ke sini?” tanya Davin ketus. Menegakkan punggung, ia melepas kedua earphone-nya.
“Kamu sendiri ngapain di sini?”
“Bukan urusan lo.”
Davin meraih tasnya, beranjak dari duduk hendak pergi. Namun, Aqilla lebih dulu meraih tangan Davin, mendongak menatap punggung cowok itu dari bawah. Cowok itu menoleh menunduk pada Aqilla. Berbalas menatap cewek itu dalam diam.
“Aku baru dateng. Masa kamu langsung pergi?” Davin hanya membungkam bibir rapat-rapat atas perkataan Aqilla. Tidak juga mengalihkan tatapannya yang tersenyum itu. “Di sini dulu. Kamu mau tidur, kan?”
“Gak.”
“Kenapa kamu menghindar terus?” Aqilla lama-lama tidak tahan. Ia mengajukan pertanyaan yang lantas membuat Davin cuma menatapnya dingin.
“Harusnya lo tahu sendiri.”
***
Membuka pintu, memandang sejenak ruangan yang selama ini kosong. Aqilla melangkah masuk, berjalan gontai menaiki tangga ke kamarnya di lantai atas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unseen [END]
Terror"Gak peduli lo iblis atau apa pun. Sentuh Aqilla, gue bunuh." ~Davin Raygard. *** Aqilla Iluvia menjadi mangsa iblis selanjutnya setelah habis keluarganya dimakan hidup-hidup. Diteror, dikelilingi kegelapan yang tiada henti. Aqilla nyaris kehilanga...