32. Yang Lebih Baik

146 7 0
                                    

SATU minggu berlalu.

Karena belum pulih total, Davin masih tidak sekolah. Berdiam diri dalam rumah, sesekali sang papa berusaha membuat perbincangan. Tapi, seperti biasa Davin tidak mengacuhkannya. Bahkan untuk sekadar membiarkan Gara masuk dalam dunianya, Davin tidak membiarkan.

Davin sendiri tidak tahu. Mau sampai kapan permusuhan itu menguar di antara dirinya dengan sang papa? Sesekali, ia ingin melupakan segalanya. Tapi, kenangan gelap itu masih menghantui Davin. Wajah Gara selalu mengaitkan dengan kematian mamanya.

Semua itu ... benar-benar menjadi cambuk tanpa henti yang terus menggores sesuatu dalam diri Davin. Ia seolah tidak bisa berhenti membenci Gara.

Davin mengusap wajahnya. Beranjak dari duduk berjalan tertatih keluar kamar. Walau sudah bisa melangkah tanpa tongkat, Davin masih belum benar-benar bisa berjalan.

Cowok itu berdiri di tepi pagar, menatap ruangan luas lantai satu tampak sepi. Masih terlalu sore untuk Gara pulang. Davin tidak mengherankan itu. Yang menjadi pikirannya adalah ke mana cewek berisik yang selalu mengacau hari Davin.

Sejak hari kepulangan Davin dari rumah sakit itu, Aqilla sudah tidak menampakkan diri lagi. Pesan yang Davin kirim juga tidak pernah terbaca. Mereka ... seolah memang tidak pernah saling mengenal.

Dan lebih sialnya, dia masih belum bisa mengendarai motor dengan benar kalau kakinya masih sepertu ini.

Mengepalkan tangan, Davin mengeraskan rahang dan mendesis, “Dasar cewek bego. Dia masih aja mau kabur dari gue setelah apa yang gue bilang waktu itu.”

***

Pulang sekolah.

Aqilla masih tidak bergerak dari kursinya. Bahkan tidak berniat memberesi buku-buku di depannya. Dia melirik Ara, cewek itu sudah menggendong tasnya. Aqilla menjilat bibir bagian bawahnya. Sedikit bergeser menghadap Ara sebelum temannya itu beranjak.

“Ara.” Aqilla memanggil dingin. Si pemilik nama menengok, mengangkat sebelah alis tanda bertanya. Aqilla mengulum bibir sejenak, bingung harus berkata dari mana. “Apa ... kamu ngerasa gak nyaman deket sama aku?”

Ara terdiam. “Lo kenapa? Kok nanya gitu?”

***

“Gue gak nyangka bakal segitu ngaruhnya sama sekolah ini.”

Gerakan tangan Aqilla terhenti, dia mengurungkan niat untuk membuka bilik toilet. Memilih diam di dalam. Aqilla tidak mengenal suara itu. Tapi, entah kenapa dirinya merasa dibicarakan di luar sana.

“Maksudnya?”

“Gue tahu, Aqilla itu ramah, pinter, baik sama orang. Tapi, apa dia gak sadar kalau dia bikin satu sekolah gak nyaman? Gue tahu ini kedengeran jahat. Tapi, ya gimana, ya? Kasihan aja yang gak tahu apa-apa tiba-tiba bermasalah gara-gara Aqilla.”

Pandangan Aqilla berubah kosong. Telinganya menangkap baik-baik setiap patah kata yang keluar dari perbincangan cewek-cewek di luar.

“Lo nyalahin dia? Kayaknya dia gak salah apa-apa.”

“Terserahlah. Tapi, intinya nyawa Hanna nyaris hilang gara-gara dia. Davin juga udah dua kali masuk rumah sakit karena dia. Kelas sebelas IPA 3 aja mulai kelihatan kacau.”

“Hm, ini emang agak aneh, sih.”

“Lo sendiri tahu, kan? Geotrama itu keluarga misterius. Tiba-tiba kaya, terus sekarang seluruh anggotanya meninggal gak jelas. Ini ... bener-bener bawa buruk buat orang-orang sekitar.”

Memang benar.

Semua itu ... bukankah memang sebuah kebenaran sejak awal? Berada di dekat Aqilla akan menjadi sebuah keburukan tidak termaafkan. Mereka bisa saja terluka, atau bahkan kehilangan nyawa hanya karena berteman dengan Aqilla.

Yah, mau sampai kapan Aqilla menampik semua ini? Terlalu menyakitkan untuk menerima kenyataan. Nyatanya seberusaha apa pun Aqilla bersikap baik-baik saja, tidak ada yang pernah benar-benar baik di sini.

Menundukkan kepala, jatuh terduduk di atas kloset. Aqilla tidak lagi berani menampakkan wajah.

Terlalu kotor.

Terlalu tercemar.

Segala yang dia punya hanya keburukan.

“Ara, terus nyokap-bokap lo gimana?”

Aqilla meluruskan pandangan, berusaha mencuri dengar baik-baik.

“Masih di rumah sakit. Nyokap koma, sementara bokap lumpuh.”

Melebarkan mata, Aqilla tidak berkedip sekali pun. Ada sesuatu yang menimpa dadanya kuat sekali ketika tahu bahwa itu suara Ara. Cewek itu tidak pernah bercerita apa-apa padanya. Tidak secuil pun.

“Semoga cepet sembuh, ya, Ra.”

“Hu'um. Gue turut prihatin.”

Thanks.”

Apa yang sebenarnya Ara sembunyikan?

Selama ini Aqilla selalu merasa semua baik-baik saja. Walau pernah beberapa minggu lalu Ara sempat pulang lebih awal dengan tergesa. Tapi, dia bilang itu hanya urusan keluarga biasa.

“Ra, apa gak sebaiknya lo jauhin Aqilla. Semenjak lo deket sama dia, nyokap-bokap lo jadi kecelakaan. Lo juga pernah bilang kalian bangkrut gak lama setelah lo kenal Aqilla.”

“Jangan sangkut-pautin Aqilla. Dia gak tahu apa-apa.”

“Gue tahu lo sempet gak nyaman sama dia. Jangan terlalu maksa kalo lo emang gak suka.”

Aqilla tergugu.

“Udah, ah. Gue mau ke kelas aja.”

Terdengar derap langkah kaki juga bunyi pintu dua kali. Toilet hening. Sudah tidak ada siapa-siapa lagi. Tapi, Aqilla masih belum beranjak dari duduknya. Tangannya meremas rok sampai kusut. Dia menelan saliva susah payah.

Tidak tahu harus apa, Aqilla bingung. Diingat-ingat, Ara tidak pernah menunjukkan raut ketidaksukaan pada Aqilla. Cewek itu selalu baik, walau dia agak ketus, tapi Aqilla tidak pernah sekalipun merasa sebegini bahagianya memiliki teman.

Tapi, Aqilla bahkan tidak tahu apa-apa tentang Ara. Dia tidak mengenalnya sama sekali.

Tidak, Aqilla tidak ingin Ara menganggapnya sebagai pembawa sial. Ara berbeda. Dia menerima Aqilla apa adanya. Sudah lama sekali Aqilla tidak memiliki siapa-siapa. Kehadiran Ara sedikit memberi kerdipan cahaya untuk Aqilla.

***

“Kamu bilang, aku bisa cerita apa pun masalah aku sama kamu. Tapi, kenapa kamu malah nyembunyiin masalah kamu dari aku?” tanya Aqilla. Ara tampak terkejut, tidak bersuara sedikit pun. Aqilla mengimbuhkan, “Padahal, kamu sendiri yang bilang anggap kita udah kenal lama.”

“Lo ... tahu masalah gue?” Ara bertanya dingin, ada nada tidak suka di dalam intonasinya. Aqilla menganggukkan kepala, Ara lantas mendengus. “Kalaupun gue cerita emang lo bisa bantu apa?”

Bibir Aqilla mengelu. Tapi, dia paksakan bersuara gemetar, “Seenggaknya ... beban kamu gak seberat dulu.”

“Apa lo pernah cerita masalah lo sama gue?” Ara menelengkan kepala, menatap mengintimidasi. Lagi-lagi Aqilla tidak menjawab. “Enggak, kan? Jadi, tolong gak usah negur gue kalo lo aja gak bisa nerapin.”

Ara keluar dari bangkunya. Meninggalkan Aqilla yang termenung di tempat. Sesaat Aqilla mengembuskan napas berat, menolehkan kepala ke arah pintu kelas. Seolah menatap sisa-sisa jejak transparan Ara.

Tidak mungkin Aqilla menceritakan permasalahannya pada Ara. Ia tidak mau menyangkut-pautkan orang lain lagi setelah Davin. Karena sejak awal dia tahu ini bukan masalah sepele. Aqilla bahkan merasa seharusnya ia tidak pernah melibatkan siapa pun dalam permasalahannya.

Menutup wajahnya dengan kedua tangan, Aqilla semakin dibuat tertekan. Baru saja hendak menutup buku tulisnya, dia tersentak. Kembali menarik tangan menjauh dari benda di depannya. Sebuah tulisan terukir sendiri. Membentuk serentetan kalimat di atas lembaran putih.

Aqilla terpaku.

Gak ada satu pun manusia yang tahu kapan dia mati. Tapi, khusus buat kamu, aku udah jadwalin sebentar lagi. Tinggal tunggu aja, ya, Aqilla Iluvia Geotrama.

***

Vote dan komentar jangan lupa. Makasih buat yang udah baca sejauh ini.

See you!

Unseen [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang