12. Menjadi Lebih Dekat

202 11 0
                                    

SUDAH tersebar.

Rumor kedekatan Aqilla dan Davin yang semakin hari semakin menempel saja sudah tidak bisa dibendung lagi. Nyaris setiap sudut koridor dan sepanjang langkah menapak membicarakan dua pasangan itu. Lagi-lagi mereka menjadi buah bibir setelah kejadian Hanna yang nyaris membunuh Aqilla.

Yah, walau tidak ada kejelasan bahwa mereka benar-benar sepasang kekasih, tetap saja perlakuan mereka satu sama lain tidak bisa dibilang hanya teman biasa.

"Davin? Apa kamu pernah deket sama cewek sebelumnya?" Menopang dagu dengan sebelah tangan, Aqilla mengemut permen tusuk hingga pipi kirinya menggembung. Memandang dari samping cowok yang sibuk gaming.

Kelas sedang tidak ada pelajaran. Hari ini Ara tidak masuk karena sakit. Bosan duduk sendiri, cewek itu memutuskan untuk duduk sementara di sebelah Davin. Memang sebenarnya Davin menolak keras. Tapi, cewek itu sama sekali tidak mengindahkannya.

Tidak mengacuhkan atensi yang mereka terima satu kelas, Aqilla dan Davin bertindak seolah mereka hanya berdua. Bukan tidak tahu bahwa ada yang menyinyir Aqilla dari kejauhan. Tapi, Davin berusaha tidak mau peduli.

Sayang, Aqilla juga tidak tahu apa-apa. Jadi, dia terlihat santai-santai saja..

"Davin, jawab, dong." Lagi-lagi tidak mau keheningan membiarkan masuk di antara celah-celah kedua fana itu. Davin menghela napas agak panjang.

"Penting?" Alis Davin terangkat sebelah. Aqilla menganggukkan kepala polos.

"Banget."

"Menurut gue enggak." Saat kembali tidak mengacuhkan cewek itu, Davin mendapati sesuatu dari di pergelangan tangan Aqilla.

Davin menarik tangan kiri Aqilla, membuat gadis itu tersentak terbuyarkan dari lamunannya. Ada lima luka bekas tusukan terlihat lumayan dalam.

"Davin–"

"'Dia' lagi?" Menyela dengan nada dingin, pandangan Davin tidak mau teralihkan dari luka itu. Aqilla mengulum bibirnya rapat. Sebelum akhirnya Davin melirik lewat kelopak matanya, mengembuskan napas panjang.

"Vin–"

"Lo gak telepon gue tadi malem." Untuk kesekian kalinya tidak diberi kesempatan berbicara, Aqilla hanya diam ketika Davin menyorot murka. "Lo bisa aja mati kapan aja, ngerti? Jadi manusia gak usah sok jual mahal."

"Itu udah malem banget. Kamu pasti udah tidur," cicit Aqilla. Maniknya mengerling pada cowok yang mengeraskan rahang menahan amarah. Sebenarnya Aqilla tidak yakin Davin marah hanya karena dia tidak menghubunginya malam tadi.

Tapi, Davin benar-benar menunjukkannya dengan berdecih. Lalu berkata dengan nada muak, "Terserah lo aja."

Menidurkan kepala membelakangi Aqilla, Davin menjadikan tasnya sebagai bantal. Tanda Davin tidak mau diganggu lagi.

Terdengar helaan napas lebih panjang dari Aqilla. Cewek yang memilih menyandarkan punggungnya, memilin bungkus permen sebagai mainan. Aqilla tidak mengerti kenapa Davin sekarang menjadi lebih sensi. Padahal, dia hanya tidak mau Davin terganggu.

Lagipula, bukannya Davin menolak permintaan Aqilla waktu itu? Walau memang masih ingin berusaha membujuk, tapi Aqilla masih punya otak untuk tidak menghubungi cowok itu semalam.

'Dia' lagi-lagi bertingkah.

Semalaman bahkan Aqilla tidak berani mematikan lampu, apalagi memejamkan mata. Terbesit pikiran untuk menelepon Davin. Sayang jarum jam sudah menunjuk angka tiga. Aqilla tidak seberani itu untuk membangunkan dan memunta cowok itu ke rumahnya.

Perih, tangan Aqilla bahkan belum dia obati. Menahan kantuk sampai subuh, Aqilla tiba-tiba saja tertidur. Jika saja alarm yang sudah dijadwalkannya tidak berbunyi, mungkin hari ini Aqilla akan terlambat. Karena tergesa-gesa, dia bahkan tidak sempat sarapan.

Unseen [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang