“SEDANG dalam perjalanan.”
Suara itu mengalihkan atensi Aqilla. Manik cokelat itu bergerak ke atas, meluruskan pandangan tidak terbaca. Duduk dengan kaki melurus lemas. Kedua tangannya diikat ke belakang. Kuat sekali sampai rasanya pergelangan tangannya nyeri. Tapi, tidak ada sepatah kata pun yang mau cewek itu proteskan.
Di depannya iblis berupa manusia itu duduk di sofa tunggal hitam. Tidak ada pencahayaan yang cukup. Aqilla hanya bisa melihat wajahnya samar-samar ditelan kegelapan. Lilin yang Aqilla bawa tadi di letakkan di meja tidak jauh dari Aqilla.
Entah pukul berapa sekarang.
Entah sudah berapa lama Aqilla di sini.
Tubuh Aqilla sudah tidak bisa diajak kompromi. Terlalu banyak keringat yang mengucur, terlalu banyak tenaga sia-sia yang dia paksakan keluar. Sekarang Aqilla tidak tahu harus berbuat apa.
Menyandarkan kepala ke tiang, sorot mata senduya perlahan meredup, terpejam. Aqilla berusaha melepaskan semuanya. Segala beban yang menumpu habis-habisan di kedua pundaknya. Perasaan-perasaan yang sempat dia pertahankan, lilin-lilin asa yang mati-matian dia lindungi dari terpaan angin.
Mengharap Davin lagi?
Aqilla sinting. Melihat Davin kembali nyaris mati karena dirinya, akan benar-benar tidak tahu diri jika Aqilla kembali bergantung pada Davin. Untuk kesekian kalinya, dia membuat keputusan yang salah masa itu.
Aqilla tersenyum getir. Kenapa dirinya bisa sebodoh itu? Kenapa dia begitu egois?
Bukankah ... antagonis selalu berakhir menyedihkan?
“Apa yang Aqilla pikirin itu ... terlalu dramatis.” Iblis itu membuka suara. Dia menyilangkan kaki, kedua tangannya bertengger di sisi sofa. Jemarinya mengetuk berirama.
Aqilla menggulirkan pandangan ke arah sesosok di depannya. Sebagian anak rambutnya menempel di sisi wajah. Dia memberi sorot datar, bibirnya mengering pucat. Iblis itu tersenyum manis, berdiri dari duduknya. Berjalan dan berdiri di depan Aqilla.
Dia mengangkat satu kakinya. Aqilla masih bergeming. Bahkan ketika kaki iblis itu menginjak kaki Aqilla, mengusek-ngusekkannya ke lantai, Aqilla cuma menahan ringisan bersama kepalan tangan.
“Gengsi kamu gede juga.” Dia terkekeh, menarik kakinya kembali menapak lantai. Iblia itu menunduk, menatap goresan luka mengucurkan darah mewarnai. “Bagus, ya? Mungkin aku harus buat lebih banyak lagi.”
“Pengecut.”
Baru saja hendak berbalik, desisan itu menyapa indra pendengaran sang satan. Aqilla melirik lewat kelopak mata, melayangkan pandangan tenang. Iblis itu memutar pelan-pelan kepalanya. Beberapa detik tertelan oleh keheningan. Sampai akhirnya mulai terdengar suara tawa merdu.
Iblis itu menghela napas. “Terserah Aqilla aja. Aku emang bisa marah, tapi aku gak sebodoh itu, kok. Lagian, aku marah juga gak ada gunanya. Nanti kan aku dapet pertunjukkan baru. Jadi, harus seneng dong. Apalagi ... pemainnya juga nambah satu.”
“Jangan–”
“Iya, Aqilla, iya.” Iblis itu mengulas senyuman manis. Telunjuknya mengusap lembut dagu Aqilla, melanjutkan, “Aku gak akan macem-macem. Cuma sedikit main aja.”
Aqilla mengatupkan mulut. Sorot bengis terpancar dari matanya. Iblis itu hanya mengulum senyuman tipis.
***
“AQILA!”
Teriakan itu bergaung. Davin mengedarkan pandangan, berputar. Gelap sekali. Tidak ada pencahayaan. Merogoh ponsel dari saku celananya, Davin menyalakan mode senter. Kembali berjalan entah ke mana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unseen [END]
Horor"Gak peduli lo iblis atau apa pun. Sentuh Aqilla, gue bunuh." ~Davin Raygard. *** Aqilla Iluvia menjadi mangsa iblis selanjutnya setelah habis keluarganya dimakan hidup-hidup. Diteror, dikelilingi kegelapan yang tiada henti. Aqilla nyaris kehilanga...