"AQILLA?!"
Ara membelalakkan kedua mata. Sesosok yang berdiri sempoyongan jauh di depannya mengangkat pandangan, menoleh ke arahnya dengan tatapan sayu. Badan Aqilla basah kuyup bercampur tepung. Ada pecahan telur di kepalanya. Tidak bisa berkata lebih lagi, Ara berlari menghampiri sang teman. Memegangi kedua pundak itu dan menatap dari bawah.
Aqilla tidak berkutik. Matanya menatap lemah. "Ra..."
"Siapa yang ngelakuin ini?! Bilang sama gue, bakal gue laporin mereka sama kepsek!" Ara menggebu-gebu, sudah tidak bisa menahan emosi karena tindakan pembulian yang Aqilla alami. Tapi, cewek di depannya malah menggelengkan kepala tidak setuju.
"Gak usah. Aku juga gak kenal." Menjeda sejenak, Aqilla mengulum bibirnya tipis. "Nanti kamu malah ikutan dibuli kalau terlalu ngurus aku."
Mendengus, Ara tertawa tidak percaya dengan yang didengarnya. "Gue dibuli? Bakal gue mampusin mereka duluan. Tapi, lo? La, mereka cari masalah sama lo. Gue gak bisa diem aja temen gue diginiin seenaknya."
Sepeduli itukah Ara pada Aqilla? Sorot mata cewek di depannya ini bahkan terlihat murka, padahal Aqilla baik-baik saja walau bajunya basah dan bau amis. Menatap lekat-lekat Ara, Aqilla menyunggingkan senyuman haru.
Cengkeraman tangan di pundaknya melemah, Ara menghela napas panjang. Mau bicara sampai berbusa, Ara tidak yakin Aqilla akan mengiyakan usulnya melapor pada kepsek. "Gini aja, deh. Lo bersihin badan lo dulu. Gue cariin seragam baru."
Aqilla mengangguk. Baru saja mau bergerak, Ara teringat sesuatu. Mengangkat tangannya, dia menegok jam tangan menunjukkan pukul 15.56. Ara bermuram wajah. "Gue gak yakin koperasi masih buka."
Aqilla memegang pundak Ara. Membuat cewek itu menolehkan kepala tersentak. "Gak apa-apa, Ra. Ini cuma basah sedikit, kok. Kamu bisa beliin aku shampo? Rambutku jadi korbannya."
"Korban apa?"
Aqilla dan Ara menoleh spontan. Terkejut mendapati Davin –entah sejak kapan– berdiri di depan mereka. Cowok itu mengalihkan tatapan pada Aqilla. Sedikit memiringkan kepala, menggulirkan manik dari ujung bawah sampai ujung atas. Aqilla membeku ditatap sebegitu telitinya.
"Pembulian, eh?" Davin mengangguk-angguk. "Terus masih ngapain lo di sini? Sana mandi dulu baru pulang."
"Gue cariin shampo dulu, La. Bentar, kok." Baru saja Ara mau melanglah berangkat, suara Davin kembali menginterupsi.
"Gak usah." Dia melempar sebotol kecil shampo yang langsung ditangkap Aqilla. Cewek itu melihatnya sebentar, mengernyitkan dahi bingung. Davin tahu dari mana kalau dirinya sedang membutuhkan benda ini? "Lo ada seragam lain atau kaos olahraga, gitu?"
Aqilla menggelengkan kepala.
Davin menghela napas. Melempar tasnya ke bawah sejenak, membuka jaket yang membungkus dirinya. Dia juga membuka almamater dan kemeja sekolah sekaligus. Menyisakan kaus putih polos melekat di tubuhnya. Dia melempar seragam atasan itu pada Aqilla. Ara yang melihat membungkam speechless.
Menerima lagi, Aqilla menatap tidak enak pada cowok yang kembali memakai jaketnya itu. Kenapa Davin harus sesusah-susah payah itu menolong Aqilla? Dia jadi merasa diperlakukan istimewa mengingat Davin yang tidak pernah dekat dengan cewek manapun.
"Vin, apa ini gak apa-apa?"
"Ra, lo pulang aja. Gue yang anter temen lo ini. Tapi, kalo dia gak cepet-cepet, gue gak janji bakal tetep nunggu kayak sinetron-sinetron murahan." Davin berkata pada Ara. Ara melirik Aqilla, sebelum akhirnya mengangguk paham. Dia mendekat pada Aqilla sejenak.
"La, lo makin deket aja sama Davin." Ara tersenyum misterius, Aqilla hanya memberi tatapan tidak mengerti. "Gue pulang. Jaga diri baik-baik."
Ara melangkah pergi meninggalkan dua orang yang tersisa di sekolah itu. Aqilla dan Davin sama-sama terdiam sesaat.

KAMU SEDANG MEMBACA
Unseen [END]
Horror"Gak peduli lo iblis atau apa pun. Sentuh Aqilla, gue bunuh." ~Davin Raygard. *** Aqilla Iluvia menjadi mangsa iblis selanjutnya setelah habis keluarganya dimakan hidup-hidup. Diteror, dikelilingi kegelapan yang tiada henti. Aqilla nyaris kehilanga...