Happy Reading!===
Arjune tahu suasana rumah sakit itu memang selalu memberi kesan sepi, tenang, bau obat-obatan juga suasana yang sedih. Namun, Arjune juga tidak menyadari bahwa suasananya ternyata semenegangkan ini.
Terlebih, dia berada dalam lorong ruang tunggu sebuah kamar ICU, tempat ayahnya terbaring lemah dengan alat-alat bantu pernapasan.
Usai mengetahui kabar dari Jelita tentang ayah, mereka berdua bergegas pergi menuju rumah sakit, dia melihat sendiri kondisi ayahnya, bahkan sempat masuk hanya untuk memastikan kondisi ayahnya.
Arjune tidak bertanya apa ayahnya sakit apa, dia juga tidak ingin tahu. Bukan karena dia tidak peduli, dia hanya... tidak mau apa yang ia tahu membuatnya berpikir yang macam-macam.
"Ayah cuma kecapekan, kamu jangan khawatir, ya."
Untungnya, Bunda juga menenangkannya dengan kalimat itu.
Sekarang, Arjune ditinggalkan berdua dengan sang bunda setelah Jelita dan Akila pamit ke kantin rumah sakit.
Keduanya diisi keadaan hening yang panjang sebelum akhirnya bunda mulai mendekatkan diri dan meraih tangan Arjune yang saling bertaut di atas pahanya.
"Abang...," panggil bunda pelan. "Bunda tahu kamu marah, kesal, dan kecewa sama Ayah. Bunda ngerti perasaan kamu."
Arjune berdecak sambil membuang wajah. "Kalau Bunda ngerti perasaan aku, waktu ayah ngeremehin aku waktu itu, Bunda pasti belain aku. Tapi Bunda malah ikut bentak aku, kan?"
Raut wajah wanita paruh baya itu menyendu, ia menundukkan kepala sambil menarik napas dalam-dalam. Dia menyesal telah terbawa pada kubangan emosi antara suami dan putranya saat itu, tetapi ia tidak menyangkal bahwa saat itu Arjune juga berucap hal yang salah.
"Ayah nggak berniat meremehkan kamu, Nak. Ayah hanya ingin semua hal baik yang kami rencanakan dengan Jelita, setidaknya nggak membuat Jelita merasa kekurangan, Ayah mau yang terbaik untuk kalian, Ayah mau... kamu meminang Jelita dengan persiapan yang matang."
Kali ini Arjune menoleh pada bundanya dengan raut wajah yang tidak bisa dideskripsikan. "Bunda masih terdengar nggak percaya sama aku."
"Bukan gitu, Sayang...," ucap Bunda terdengar lelah. "Bunda sama ayah nggak mau kamu terburu-buru mengambil keputusan. Kalian harus banyak diskusi dengan kami sebagai orangtua, Jelita juga masih punya keluarga. Coba Bunda tanya, waktu kamu melamar Jelita, apa kamu udah izin sama Omnya?"
Arjune langsung terdiam lama, dan hal itu membuat wanita paruh baya itu tersenyum kecil di tengah rasa lelahnya.
"Nak... Bunda dan ayah senang sekali karena sejak dulu, kamu selalu jadi laki-laki yang berani bertanggung jawab, bisa dipercaya menjaga Jelita dan setia selama bertahun-tahun. Kami sangat menghargai itu, kami juga bahagia rasanya kalau Jelita akan jadi pendamping hidup kamu."
Tangan bunda terulur meraih wajah Arjune, meminta putranya menatap matanya.
"Bunda tahu sekali perasaan kamu sebesar apa untuk Jelita, Bunda juga nggak mau kamu kecewa karena kami menahan diri niat baik kamu. Selama beberapa hari ini, Bunda berpikir banyak hal, termasuk permintaan kamu untuk menikahi Jelita."
Jantung Arjune berdebar kencang ketika mendengar kalimat-kalimat itu keluar dari bibir bundanya. Ia merasa bundanya sedang hendak mengambil keputusan setelah beberapa pekan ini mereka perang dingin.
"Rasanya daripada kita harus saling mendiami satu sama lain, lalu hidup dalam kekhawatiran karena nggak bisa mendengar kabar kamu, ayah juga sakit, lebih baik kali ini Bunda ikut andil dalam keputusan yang menurut Bunda akan membuat keadaan membaik," ucapnya sambil melempar senyum yang membuat Arjune semakin merasakan debar jantungnya semakin kencang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Toxic Love
RomanceSelama hampir empat tahun menjalin hubungan, Jelita merasa hubungannya dengan Arjune adalah hubungan yang paling normal dan sehat. Arjune adalah lelaki yang selalu menjaganya dan berusaha tidak terlibat hubungan beracun yang selalu melibatkan nafsu...