2 hari lagi aku akan berangkat ke Hogwarts karna masa liburanku yang akan berakhir dan aku belum membeli buku-buku untuk tahun ajaran baru ini jadi Tommy akan mengajakku ke Diagon Alley, dia bilang hari ini dia bisa mengantarku.
Tentu saja, kalau tidak dengannya aku tidak akan bisa pergi ke manapun. Dia ini terlalu khawatir, padahal kalau tidak di batasi aku yakin aku dapat melakukan semuanya sendiri. Tapi wajar dia khawatir aku satu-satunya keluarga yang tersisa, jadi wajar kalau dia jadi paranoid begini.
"Apa kamu sudah siap?" Tanya Tommy dari balik pintu kamarku.
"Iya." Kataku sambil melangkah keluar kamar.
"Aku kita segera pergi. Aku tidak punya banyak waktu."
Apa maksudnya tidak punya banyak waktu? Apa sekarang kementrian sihir juga membatasi waktu dia pergi bersama putrinya? Kenapa sekarang Tommy terlihat seperti anjing yang tali kekangnya di genggam kuat oleh kementrian sihir?
Tapi mungkin itu hanya kesibukan Tommy yang tak dapat aku mengerti. Aku hanya remaja berjiwa liar yang jelas tidak akan mengerti masalah peraturan orang dewasa seperti itu. Lagi pula untuk apa aku ikut ambil pusing.
Kami pergi ke London dengan mobil Tommy. Entah kenapa aku sedikit khawatir menaiki mobil, seolah aku bisa saja mati di dalam mobil. Tapi tentu aku tidak mengatakan kekhawatiran ku itu pada Tommy, aku tidak ingin membuatnya lebih khawatir dari sekarang. Jadi aku melakukan perjalanan dengan sedikit tertekan tapi tetap berusaha terlihat santai di depan Tommy.
Aku benar-benar bersyukur saat kami tiba di depan sebuah tempat seperti rumah makan sederhana yang terpencil. Kami masuk ke dalam tempat tersebut, tempat itu ternyata cukup ramai di pagi hari. Tidak hanya pengunjung yang ingin sarapan tapi juga banyak berkeliaran untuk pergi ke Diagon Alley melewati salah satu pintu rahasia yang terletak di dalam bangunan ini.
Aku dan Tommy sampai di depan dinding tempat pintu rahasia tersembunyi. Tommy mulai mengetuk dinding itu dengan irama dan berurutan seperti sebuah kode. Ini bukan pertama kalinya aku melihat seseorang membuka pintu ini, tapi aku masih saja tidak hafal dengan urutan kode itu.
Setelah menerima ketukan kode dari Tommy, batu-batu bata dari dinding itu bergeser dan membuka jalan seperti terowongan untuk kami lewati, dan dari sana kami melihat kepadatan Diagon Alley yang seperti pasar menjelang lebaran. Ramai, padat, berisik dan dipenuhi kepala-kepala yang seperti lautan manusia.
"Beginilah kalau kita datang di waktu yang tidak tepat." Lata Tommy yang mencoba membelah lautan manusia.
Ya, seperti inilah kondisi kita kalau tidak cepat-cepat mengambil sembako gratis. Tapi tenang saja, ini tidak sepadat antrian masuk Mall setelah setahun isolasi Covid, kami masih bisa berjalan dengan cukup leluasa walaupun ramai. Tapi untuk aku yang tidak begitu nyama didalam keramaian jelas cukup membuat kepalaku pusing.
"Aku ingin pergi ambil uang sebentar, apa kamu ikut?"
Ikut? Bertemu para makhluk kerdil menyeramkan dan menaiki rollercoaster gila turun ke inti bumi? Ah, tidak terima kasih.
"Tidak, aku akan pergi berbelanja buku saja. Agar menghemat waktu aku tahu ayah tidak punya banyak waktu."
"Oh, ok." Aku melihat Tommy tampak menyembunyikan keterkejutannya, sepertinya dia sedikit kecewa karna aku tidak ingin ikut dengannya.
Maaf bukan bermaksud membuatmu kecewa tapi rasa takutku terhadap makhluk kerdil lebih besar, sekali lagi maaf.
Aku lihat dia memperhatikan sekitar, sepertinya dia khawatir akan keselamatan ku. Dia ini benar-benar berlebihan.
"Aku akan baik-baik saja, ayah. Dia sini dipenuhi para penyihir, tidak ada penjahat waras yang akan menyerang di keramaian."
"Dan masalahnya dia tidak waras."
Ah, dasar bapak-bapak, gua timpuk juga tuh pala. Keras kepala banget.
"Sudah ayah pergi saja, aku akan baik-baik saja aku janji." Aku mendorong punggung pria itu agar menjauh, jangan khawatir bapak tua. "aku pergi dulu, temui aku di Flourish and Blotts, ok." Aku langsung berbalik meninggalkannya.
Aku menoleh ke belakang dan melihat dia masih di sana sambil menatapku diam dari jauh. Haduh, kenapa kamu tidak pergi saja sih, sudah lah jangan pikirkan!
Aku melanjutkan langkahku ke sebuah toko buku yang cukup terkenal di Diagon Alley ini. Toko itu sudah cukup sepi, jujur aku sendiri tidak tahu dari mana aku mengetahui nama toko yang menjual buku-buku ini, nama itu tiba-tiba saja terlintas di kepalaku.
Aku memasuki toko tersebut, di dalam banyak sekali buku-buku yang tersusun memenuhi dinding-dinding toko. Aku mulai mengumpulkan buku-buku yang aku perlukan sesuai apa yang tertulis di list buku keperluan untuk tahun ketiga.
Tahun ketiga ya. Kira-kira petualangan apa yang Potter alami di tahun ketiganya di Hogwarts? Aku tidak ingat urutan filmnya, semoga saja bukan kematian si tua Dombeldor atau hal mengerikan lainnya. Aku tidak siap untuk menghadapi hal-hal semacam itu.
"Hogwarts tahun ketiga?" Kata seorang pria berbadan besar, tampaknya dia si pemilik toko ini.
"Iya, aku memerlukan beberapa buku, aku butuh–"
"Aku tahu apa yang kamu butuhkan." Katanya menyela sambil mengenakan sebuah sarung tangan yang tampak sangat tebal.
Buat apa dia menggunakan sarung tangan? Apa ada buku yang amat panas seperti lelehan besi sampai dia memerlukan sarung tangan seperti itu?
Ternyata bukan buku yang sangat panas yang akan dia ambil, melainkan buku yang sangat galak. Dia menghampiri sebuah kandang yang di dalamnya ada sebuah buku yang sedang mengamuk, gila buku itu benar-benar mengamuk seperti anjing rabies! Dia berkali-kali memberontak berusaha keluar dari kandangnya si pemilik buku itu sendiri sampai kesulitan menangani benda satu itu.
Ternyata buku Monster benar-benar monster. Kalau begini bagai mana aku belajar dengannya, bagai mana aku bisa belajar dengan buku yang terus mengamuk dan mungkin saja akan memakan jari-jariku. Guru gila macam apa yang memberikan muridnya buku yang bisa menggigit?!
Setelah susah payah menangani buku itu, si pemilik toko buku mengikat buku itu dengan gesper berwarna merah agar buku itu tidak dapat menggigit lagi. Sesekali buku itu memberontak dan aku berharap gesper itu kuat dan tidak lepas, membawa buku ini benar-benar pengalaman yang cukup horror.
Aku membayar semua buku itu dan keluar dengan perasaan sedikit ngeri, khawatir buku gila di tanganku tiba-tiba memberontak melepaskan ikatannya dan mengamuk di tengah-tengah Diagon Alley ini. Tapi kalau sampai itu terjadi setidaknya Tommy tidak perlu kesulitan mencari ku.
Kira-kira di mana ya Tommy apa dia masih berada di Gringotts? Aku pikir dia akan lebih cepat selesai dari pada aku, sepertinya aku lupa kalau dia tidak mengambil uang dengan mesin ATM.
"Emily!" Aku mendengar suara seseorang memanggil namaku, bukan benar-benar namaku sih.
Aku menoleh dan mendapati seorang gadis manis dengan rambut coklat panjang melambai ke arahku. Ah, sialan aku lupa namanya.
"Kelihatannya kamu baru membeli buku-buku baru." Kata gadis itu, apa dia teman asramaku?
"Iya, aku baru saja selesai."
"Jadi bagai mana kemeja yang aku kirimkan? Apa kamu suka?"
Hah? Kemeja apaan lagi ini, siapa yang kasih gua kemeja?!
"Kemeja yang bagus, aku suka." Aku tidak boleh bersikap seolah tidak tahu.
"Apa kamu Emily, teman asrama Anabel?" Seorang wanita menghampiri kami sambil menggenggam kedua bahu gadis di hadapanku.
Oh, jadi anak ini bernama Anabel.
"Anabel, bercerita banyak tentang kamu, dia bilang kamu anak yang berbakat. Sesekali menginap lah di kediaman kami, kami akan sangat senang kalau kamu berkunjung."
"Haha terima kasih, kalau ada kesempatan aku akan mengusahakannya."
Ini emak-emak ngomong apa lagi, bakat apa lagi ini. Emang punya bakat apa gua? Kalo bakat makan iya emang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Paling Hogwarts
FanfictionWelcome back Emily! Siapa sangka ternyata perjalanan Sarah AKA Ara di dunia Harry Potter belum selesai. Ia kira setelah menyelesaikan cerita pertama dari seris film terkenal itu ia akan bisa kembali ke kehidupannya yang normal. Tapi ternyata itu tid...