apa itu cinta? gak level

173 33 0
                                    

Aku duduk terdiam di atas kasurku, sedangkan Delia tengah sibuk mencari tongkatnya padahal sebentar lagi kelas profesor Lupin dimulai. Aku diminta anak satu ini untuk menemaninya kembali ke kamar karena dia lupa membawa tongkatnya, dan kini tampaknya dia kehilangan benda itu.

"Bisa-bisanya kamu kehilangan tongkat." Kataku yang melihat Delia tengah membongkar kopernya.

"Ya kenapa tidak bisa? Memangnya aku harus setiap hari membawa benda itu ke mana-mana?!"

"Iya, aku selalu membawanya. Tidak pernah aku tinggal." Delia hanya mendengus kesal sambil menutup kembali kopernya.

"Karna tadi kelas ramuan dan kita tidak akan menggunakan tongkat jadi aku tinggal tongkatku di kamar. Tapi di mana ya..."

Take your time Delia. Jangan terlalu terburu-buru, santai saja aku tidak keberatan kok kalau kita telat. Hari ini hari pertama kelas perlindungan terhadap sihir hitam, itu berarti hari ini kita akan belajar tentang cara berhadapan dengan Boggart. Aku tidak sedang menghindari makhluk aneh, abstrak, gila dan tidak jelas itu kok, aku hanya malas saja. Ingat aku hanya malas!

Melihat Delia yang kini mencari di kasurnya untuk ketigakalinya membuat aku berpikir tentang kekhawatirannya pada Potter.

Apa harus aku katakan sekarang? Bagi mana aku mengatakannya? 'jangan menyukai potter masa depannya suram' atau 'menjauh darinya dia memiliki penyakit menular namanya ketidak beruntungan' jangan-jangan mungin 'kamu tidak di takdirkan bersamanya jadi menyerah lah.' atau aku bilang saja Potter bau sikil, Delia tidak suka laki-laki bau.

"Apa kamu percaya itu, Emily?"

"Hah, apa?" Aku sedikit terkejut Delia mengajakku berbicara. Dia terdiam duduk di atas kasurnya dengan wajah yang sedikit muram.

"Tentang ramalannya." Hey, yang benar saja?! Di saat seperti ini kamu malah memikirkan Potter?!

"Ramalan terkadang meleset kan." Kamu berharap aku berkata 'dasar gila, dari pada mikirin bocah dekil itu mending cari tuh tongkat bego!' ho ho, tidak teman, aku tidak akan mengatakan hal kejam seperti itu pada teman yang sedang galau.

"Tapi bagai mana kalau dia benar-benar pernah melihat Grim? Semua orang yang pernah melihat Grim selalu mati."

Itu bukan Grim itu Sirius Black! rasanya ingin sekali aku berkata seperti itu.

"Itu tidak benar, semua hanya omong kosong. Mana ada orang yang mati hanya karna pernah melihat anjing hitam, kalau benar juga paling karna dia begitu menyeramkan sampai membuat orang itu ingin bunuh diri. Tapi kita tahu Potter itu pemberani, dia tidak akan mati hanaya karna hal konyol seperti itu."

Tapi Potter memang hampir mati karna hal konyol sih. Saat Black mati, kalau saja Dombeldor tidak menahan Potter untuk membunuh Bellatrix atau kalau saja Snape meladeni Potter untuk berduel dengannya. Anak itu pasti sudah mati konyol dan filmnya pun jadi membosankan.

"Delia, apa sih yang membuatmu sampai rela mengkhawatirkannya, dia bahkan tidak tahu namamu loh." Kataku setelah kami sempat saling diam untuk beberapa saat.

Jika kamu berpikir aku bertanya seperti ini agar Delia terlalu dalam pembicaraan, membuatnya banyak bercerita, pura-pura mendengarkan sambil berharap dia tidak akan sadar dia masih belum menemukan tongkatnya sampai kelas di mulai kamu salah! Kamu benar-benar (tidak) salah lagi.

"Aku sendiri tidak tahu, Emily. Sudah lah jangan bicarakan aku terus, kamu sendiri bagai mana?"

"Loh, kenapa jadi aku? Aku tidak memiliki siapapun untuk aku kagumi." Dia mengharapkan apa dariku? Aku ini cewe jomblo abadi yang berakhir tenggelam dalam dunia game, itu lebih baik daripada terus berharap akan seseorang datang mengisi hariku.

Di dunia asalku aku sudah beberapa kali terjun ke dunia percintaan, dan tidak ada satupun yang berhasil. Semua selalu berakhir dengan caranya masing-masing, karna itu sampai detik ini aku jadi meragukan apa yang disebut cinta sejati.

Tapi jujur, andai saja aku tidak melihat dunia ini hanya sebagai permainan belaka aku pasti sudah dibuat percaya dengan cinta sejati lewat Fiona dan Tommy. Mereka pasangan paling manis yang pernah aku lihat. Sebelumnya aku selalu menilai pernikahan sebagai sesuatu yang mengerikan dimana kamu harus menghabiskan sepanjang hidupmu melayani anak orang.

Para ayah harus bekerja mati-matian demi menghidupi orang-orang yang tinggal di rumahnya seperti parasit, para ibu harus membuang-buang hidupnya untuk terus berada di rumah melayani orang-orang yang belum tentu akan melayaninya sebaik ia melayani mereka. Di mataku pernikahan adalah penjara berkedok happy ever after.

Mungkin aku berpikir demikian karna pengaruh dari kehidupan keluargaku, orang tuaku tak pernah terlihat sebahagia di dongeng-dongeng saat mereka bersama. Tidak seperti pasangan Hormen ini, mereka terlihat lebih baik dan bahagia saat bersama. Emily benar-benar gadis yang beruntung.

"Hey!" Delia memetik kan jari di depan wajahku, membuat lamunanku buyar seketika. "Kamu memikirkan apa sih, aku yakin 100 persen kamu tidak mendengarkan perkataanku."

"M-maaf, kamu bilang apa tadi." Oh aku benar-benar tidak fokus, aku bahkan baru sadar dia berhasil menemukan tongkatnya.

"Hah, terserahlah yang penting aku mengatakan kamu itu terlihat cocok dengan Alex."

"Haha, tapi sepertinya kamu jangan terlalu berharap, aku jelas tidak ingin mengecewakanmu." Alex memang baik dan lumayan, dia juga boyfriend ebel. Tapi entahlah, bagiku Alex sama saja seperti Patrick, teman baik yang terkadang menyebalkan yang membuatku ingin mengirimnya ke antah berantah.

"Tapi apa kamu pernah dekat dengan anak laki-laki lain? Sejauh ini hanya Patrick dan Alex kan, aku tidak sudi kalau kamu bersama Patrick-"

"Hah, sudahlah. Tongkat kamu sudah ketemu kan, Ayo kita ke kelas sebelum kita terlambat." Aku langsung pergi meninggalkan kamar, berusaha menghindari topik percakapan ini.

"Hey, tunggu! Jangan tinggalkan aku, Emily!"

Menyebalkan sekali, aku kan menemaninya karena tidak ingin mengikuti kelas Boggart si werewolves itu. Sekarang aku harus mengikuti kelas Lupin untuk menghindari topik yang ingin Delia bahas.

Aku menghindar bukan berarti apa yang dikatakannya benar, aku menghindar karena aku tidak ingin mendengar omong kosong itu. Aku dan Alex memang cukup akrab, kami benar-benar satu frekuensi. Dan aku tidak ingin pertemanan kami yang menyenangkan ini berubah canggung. Aku benar-benar menyukai Alex, dia asik, bisa diajak gila bisa di ajak waras tidak seperti Patrick yang isi otaknya hanay makan, gosip, dan kegilaan.

Walau mereka terkadang tidak berbeda jauh bahkan hampir seperti pinang di belah dua, setidaknya Alex lebih waras dan rasional dibanding Patrick. Ini juga yang membuatku terkadang senang mengobrol hal serius dengan Alex.

Aku pernah mencoba mengajak Patrick berbincang serius tapi dia selalu menemukan hal lawak di setiap obrolan kami, kalau sedang bersamanya apa pun situasinya pasti selalu 5% serius 95% tertawa.

Tapi aku tidak melupakan saat dimana dia mengkhawatirkan ku saat bertengkar dengan si Arus listrik itu, aku menghargai kekhawatirannya dengan tidak lagi bertemu dengan anak itu.

"Semoga saja kita tidak terlambat." Kata Delia di sampingku.

Semoga kelasnya udah selesai, kalo ampe si anjing belum mulai kelas aku keluar dari kelas! Serius ini mah.

Si Paling HogwartsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang