BAB 37: Last Letter

215 27 46
                                    

Matahari pagi masuk melewati celah-celah ruangan, membelai halus wajah seorang gadis yang tertidur nyenyak pasca tragedi mengenaskan yang terjadi di The Last City. Kala itu, sekujur tubuhnya penuh luka baret. Dan, satu yang paling parah, berada di tulang selangka kirinya yang terus mengeluarkan darah. Kalau saja dia telat mendapatkan penanganan, dia bisa tewas. Sejujurnya pun, dia sudah kehilangan banyak sekali darah. Untungnya, sekarang dia tidak selemah waktu itu karena telah diberi nutrisi yang cukup.

Gadis itu tertidur pulas dengan perban yang melilit bahu kirinya. Dengkurnya halus. Parasnya elok. Dari luar, angin sepoi-sepoi kembali membelai lembut wajahnya. Kali ini, sensasinya membuat Asteria terbangun. Dia melenguh, lalu membuka matanya. Dia mengerjap, mencoba memfokuskan pandangannya yang kabur. Perlahan, dia beranjak duduk sambil meringis memegangi bahunya.

Perlu beberapa saat baginya untuk mengingat setiap detail kejadian. Saat sempurna mengingatnya, dia beranjak bangun dengan tergesa dan keluar dari tempatnya berbaring. Sinar matahari menimpanya. Cukup silau, membuat Asteria sedikit menyipitkan matanya. Dia menapakkan kakinya yang tak berbalut alas kaki. Angin menerpa kulitnya yang terekspos karena hanya mengenakan tanktop berwarna putih. Dia melihat sekitar. Ada sedikit orang yang sibuk berkerja. Lokasi ini berada di dekat laut.

Playlist for this scene until the end of chapter: Summertime Sadness (Violin Version) — Dramatic Violin.

"Asteria!" Seseorang meneriakkan namanya, lalu memeluknya erat, membuat Asteria mengaduh karena bahunya terhimpit.

"Jane!" Asteria terengah menahan sakit, tapi juga senang. Menyadari sahabatnya kesakitan, Jane baru sadar dan segera melepaskan pelukannya.

"Aduh, aku lupa! Maaf, Ash! Sakitkah?" Jane meringis melihat Asteria memegangi bahunya. Tak ayal, Asteria malah tertawa. Jane jadi ikutan tertawa, lalu berucap sungguh-sungguh. "Aku benar-benar senang kamu selamat, Ash ...," lalu, entah kenapa, pandangannya berubah sendu. Tapi, Asteria tidak memperhatikan, karena Pandora dan Andrienne datang bergabung.

"Ash!" sebut Pandora dan Andrienne bersamaan, lalu mereka bertiga berpelukan sekaligus. Asteria mendekap erat sahabat-sahabatnya, lega melihat keduanya baik-baik saja tanpa kurang satu pun.

"Kau baik-baik saja, Ash?" Andrienne berusaha tersenyum, tapi anehnya matanya memancarkan kesedihan yang belum Asteria sadari. Gadis itu hanya mengangguk riang, sama sekali tidak melihat ada yang aneh dari pertanyaan terselubung Andrienne. Mereka berempat akhirnya berjalan menemui yang lainnya.

Asteria dipeluk banyak orang. Brenda, Harriet, Minho, Gally, Aris, semuanya memberi Asteria dukungan. Terutama Sonya, gadis itu memeluk Asteria erat sambil menangis. Asteria kebingungan, tapi tetap membelai punggung Sonya, menenangkannya. Gadis cantik itu segera mengendalikan diri, melepas pelukan, tersenyum. "Kenapa kau, Sonya?" tanya Asteria, terkekeh. Sonya hanya menggeleng pelan. Setelah menghabiskan waktu mengobrol bersama mereka sejenak, Asteria menyadari sesuatu.

"Oh, iya! Astaga, bisa-bisanya aku lupa. Di mana Newt?" Asteria tersenyum, bertanya pada semua orang. Seketika semuanya tersumpal, saling lirik. Senyum Asteria luntur. "Ada apa?" tanya gadis itu pelan. Pandora menghela napas lelah. Dia berbaik hati memberi tahu Asteria untuk menuju ke tempat Thomas. Asteria menoleh, melihat Thomas berdiri di depan sebuah batu yang tingginya nyaris sama dengan pemuda itu. Asteria tersenyum lagi, berjalan menghampiri Thomas dengan langkah riang. Jane, Andrienne, dan Pandora mengikuti langkahnya.

"Thomas," Asteria menyapa riang. Pemuda itu menoleh, terdiam melihat senyum cantik di wajah Asteria. Dia melirik Andrienne sekilas, yang hanya menunduk. "Mana Newt?" tanya Asteria. Meski Thomas sudah menyiapkan diri untuk ini, tetap saja dia bagaikan bisu. Beberapa saat terlewat, Thomas hanya menatap batu di depannya. Asteria bingung karena tidak mendapat jawaban, jadi dia mengikuti arah pandang Thomas.

Batu itu rupanya bertuliskan nama-nama orang. Banyak dari mereka yang mengukir nama mereka di situ. Entah untuk apa. Mungkin untuk mengabsen penduduk, pikir Asteria. Satu menit mengamati, Asteria menemukan nama Newt. Juga Teresa. Juga Winston. Chuck. Alby. Asteria menelan ludah. Ada yang tidak beres. Jantungnya menggebu-gebu di dalam sana. Dia kembali menatap Thomas, yang ternyata sudah memandangnya lebih dulu. "Thomas? Batu ini untuk apa?" Asteria bertanya, berusaha tenang.

Thomas membuang napas berat. "Ash ... I'm sorry."

Asteria tidak mengerti. "Sorry? What do you mean, Thomas?" Senyumnya luntur.

Andrienne maju, memegang bahu Asteria. Raut wajahnya amat sedih. "Ash ... He's not survive. Newt isn't make it."

Bagai petir menyambar di siang hari, begitulah kondisi Asteria saat ini. Otaknya bekerja cepat mencerna ucapan Andrienne. Pandangannya kosong. Sebuah tembok kokoh di hatinya retak. Asteria kembali menatap temannya itu, tersenyum kikuk. "Andrienne. Jangan bercanda. Itu tidak lucu. Aku hampir saja percaya." Lalu, Asteria memaksa diri untuk tertawa. Jane yang menangis memeluk Asteria erat.

"It's not a joke, Asteria ... We lost Newt. He didn't survive."

Hancur sudah tembok kokoh itu. Hancur berkeping-keping tanpa ada harapan bisa dibangun kembali. Bagai bendungan sungai yang jebol, airnya mengalir ke mana-mana. Bagai hujan yang memuntahkan airnya terus menerus, tanpa mau berhenti. Bagai bunga yang layu, karena tidak terawat dengan baik. Bagai air yang tidak lagi jernih, karena suatu noda. Itulah kondisi Asteria saat ini, yang tak lagi mampu berpijak di atas kakinya sendiri. Gadis itu merosot, lutunya menghantam tanah dengan keras. Pandora berseru, memegangi Asteria agar tidak terbaring. "Ash!"

Asteria mendongak, tatapannya kosong dan dipenuhi kehampaan. "Bohong ... Kalian semua bohong ...,"

Thomas mengeluarkan sesuatu dari saku celananya, lalu berjongkok di depan Asteria. "Newt ... meninggalkan sesuatu untukmu, Ash. Bacalah," kata Thomas lirih lalu menyelipkan sebuah kertas di genggaman gadis itu. Tangan Asteria gemetar membuka surat itu. Dia tidak bisa berpikir jernih dan terus merapalkan sebait doa bahwa ini hanyalah bunga mimpi terburuk. Air matanya tumpah ruah ketika membaca surat terakhir dari Newt. Surat terakhir yang mengutarakan isi hati paling dalam pemuda itu untuk sang kekasih.

Asteria,

If you read this, that's mean I'm not here anymore. I'm sorry. I knew, my time isn't much. I wrote this letter because I knew I can't accompany you any longer. Be happy always, ya, Ash? You're my first and last. My heart is forever yours. Please, take all of our memories closest with your heart. Take me with you forever. Remember me wherever you go. Think of me when you saw things around you. I don't know if you're gonna find another lover again, but, Ash, I love you until my last breath. I'm sorry for leaving you without any permission. Don't look for me again, you won't find me anywhere. Everyone would take care of you as I did. Continue your life peacefully, Asteria Seraphine. I love you yesterday, today, tomorrow, forever.

Your beloved,
Newt.


































hold on guys, ini belum end, jangan tantrum dulu 😭

TMR: HOLD ME TIGHTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang