Bagian 7 | Bercengkrama

256 153 39
                                        

Bagian 7 | Bercengkrama

"Lihat masa lalu diri sendiri dan jadikan patokan untuk menjadi lebih baik ke depannya. Jangan mengulang kesalahan sama."

🖋🖋🖋

Dalam pertemanan, rasa percaya paling utama. Jika satu sama lain menaruh curiga, maka dipastikan hubungan tersebut tidak akan berjalan lama. Jika berjalan pun, pastinya menyertai pertengkaran sepanjang perjalanan. Lalu, bagaimana cara membangun kepercayaan? Meyakini semua perkataan lawan bicara itu fakta tanpa memastikan segala sesuatu? Oh tentu bukan itu cara yang benar untuk membangun rasa percaya.

Bagi Jeffran, memercayai sesuatu harus didasarkan fakta nyata tanpa omongan belaka. Tidak peduli itu kebenaran yang dibicarakan orang-orang, Jeffran tetap akan menganggapnya sebagai bualan semata.

Begitu pula dengan pengakuan Sabili mengenai bawaan Hendra. Dia khawatir jika tidak ada fakta, maka fitnah akan bermunculan. Dan lagi, hoaks lebih cepat menyebar dibandingkan kebeneran asli. Semua hal itu tentu dibicarakan oleh orang tanpa pertimbangan, orang bodoh, pemilik otak udang.

Jeffran tidak mau Sabili menjadi salah satu golongan orang berotak udang, orang dengan pemahaman terbelakang. Dia mau Sabili belajar membuktikan ucapannya, bukan menggiring opini orang lain.

Tapi nampaknya Sabili menilai sanggahan Jeffran sebagai tanda permusuhan. Seperti pagi ini, terlihat kilatan permusuhan dari mata anak itu. Walaupun semalam dia tetap mengantarkan Jeffran menuju kamar inapnya dan menggendong Jeffran kembali ke bangsal, dia tetap tidak berbicara. Hanya bibirnya yang melengkung ke bawah sembari menghentakkan kaki beberapa kali.

Bahkan hari ini, tepatnya hari jumat tanggal 8 Desember, Sabili lebih dulu beranjak pergi ke sekolah tanpa basa-basi pada salah satu teman-temannya.

Surya segera mencegat lelaki itu dan menawarkan untuk pergi bersama. "Eh, Bil! Nanti aja perginya, baru juga jam enam pagi. Sekolah belum ramai juga, sekalian sama gue."

"Gak usah, bang. Gue piket umum hari ini," tolak Sabili langsung membuka pintu kamar inap.

Padahal agak mustahil bagi seorang Sabilu melakukan tugas piket umum, memungut daun di tanah saja dia jijik. Belum lagi menyapu halaman sekolah, dia pasti akan mengeluh sepanjang hari. Surya tentu heran akan sikap sang adik kelas. Tapi dia memilih diam saja.

"Ya udah, hati-hati di jalan!"

Sabili berlalu menggunakan seragam khas hari jumat, pakaian olahraga dengan warna kuning cerah bercampur merah anggur. Lambang sekolah yaitu pinang yang disilangkan pada dua gading gajah terlihat memukau. Lalu, terdapat nama masing-masing siswa di lengan kanan baju, seakan menegaskan kepemilikkan.

Uang yang dikeluarkan untuk seragam itu tentu tidak sedikit. Apalagi mengingat SMA Pinang Gading merupakan sekolah swasta yang dimiliki oleh seorang pengusaha pertambangan. Biaya sebesar jutaan rupiah harus dilunaskan setiap bulannya dari orang tua siswa. Oleh karena itu, fasilitas di SMA Pinang Gading sangat memadai. Setiap kelas diisi oleh dua pendingin ruangan, siswa berprestasi dan seorang ketua organisasi akan dibelakai tablet untuk keperluan belajar yang hanya memuat satu aplikasi buatan sekolah, parkiran bawah tanah, asrama mewah, bus sekolah, elevator sebagai penghubung antara lantai satu dan lantai selanjutnya, serta pelaksanaan acara besar yang biasanya mengundang orang terkenal.

Jadi, permasalahan biaya tidak perlu diragukan lagi pemanfaatannya. Sebab siswa menikmati segalanya.

Surya dan Hendra menjadi salah satu penikmat fasilitas tersebut. Semenjak menaiki kelas sebelas, Surya lebih sering telat masuk sekolah karena berbagai alasan. Hal tersebut menyebabkan dia harus tinggal di asrama demi kebaikannya sendiri.

JERUJI IKRAR | TAMAT & TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang