Bagian 17 | Kamera Pengawas

143 71 30
                                        

Bagian 17 | Kamera Pengawas

"Mengapa harus menyerah sebelum menyerang? Bukankah itu tindakan pecundang?"

🖋🖋🖋

Perkataan sang Dukun tua yang bernama Kakek Norman itu tidak sepenuhnya diserap baik dalam pikiran Hendra serta Sabili. Demi menebas keraguan dalam hati, mereka sepakat pergi ke pemakaman untuk mengecek langsung dengan mata mereka sendiri.

Apabila terbukti semua itu tidak benar, Hendra berjanji dalam hati bahwa ia akan memutus hubungan dengan pria tua itu.

Motor revo Sabili lebih dulu memasuki area pemakaman, sedangkan Hendra berjalan kaki dari bengkel yang berada di persimpangan jalan menuju pemakaman.

Salahkan motornya yang mendadak ngambek. Memang sudah tidak terhitung kali ia mengalami kemalangan saat mengendarai motornya itu, bahkan ketika pertama kali ia pergi ke rumah dukun itu, ia sempat jatuh dari motor, kecelakaan tunggal. Untungnya ia kecelakaan dekat rumah sehingga ia bisa menukar motornya menggunakan motor vespa kuning milik Mama.

"Lama banget lo, bang." Sabili berkomentar sadis tanpa melihat keringat Hendra telah bercucuran.

"Abang habis beli bunga tabur, kita sekalian ziarah. Tapi motornya malah mogok dan gak mau jalan, jadi jalan kaki dari bengkel ke sini," jelas Hendra mengelap peluhnya menggunakan kemeja putih yang menunjukkan nama lengkapnya pada bagian kanan, serta asal sekolah dan kelas di bagian lengan kiri.

Sabili mengangguk saja. Ia sudah melepaskan kemeja putih sekolah, membiarkan kaos warna merah terang menyelimuti tubuhnya, bersanding dengan celana panjang abu.

"Ya, udah, yok, masuk! Gue udah enggak sabar mau jenguk teman-teman kita. Sekalian mau membuktikan ucapan Kek Norman."

Hendra mengangguk setuju sebagai respon. Mereka berjalan berdampingan sembari menundukkan kepala, takut jika tanpa sengaja menginjak makam orang lain.

Sabili menahan napasnya sebentar. Ada sensasi aneh ketika ia datang ke pemakaman seperti sekarang ini. Ia membayangkan dirinya kelak akan seperti ini, terbujur kaku di dalam tanah tanpa ada orang lain yang tahu keadaannya. Ia bakal sendirian, menggulung kenangan di dunia sembari menyesali setiap perbuatan.

"Jangan melamun, Bil. Nanti kesurupan, abang gak bisa bantu!" peringat Hendra menggandeng tangan sang teman dan berjalan lebih dulu.

Sabili berdecak sebal. "Mana ada gue melamun. Cuman lagi membayangkan masa depan gue nantinya yang bakalan kayak mereka yang di sini. Kembali ke tanah."

"Makanya persiapkan bekal untuk masa depan. Belum tentu masa depan kita akan sama seperti orang tua kita atau tetangga kita yang masih hidup di usia empat puluh tahunan atau bahkan lebih. Bisa jadi kita meninggal duluan di usia remaja, bisa juga di saat kita sedang beranjak dewasa, atau saat kita belum merasakan pahit manisnya dunia pernikahan," balas Hendra menimpali ucapan Sabili yang baginya terlalu mengkhawatirkan peristiwa di masa depan.

Sabili langsung bergidik ngeri. Ia melepaskan gandengan Hendra, lalu memeluk tubuhnya sendiri sembari berkata, "jangan bikin ngeri, bang. Seram banget rasanya membayangkan kematian."

Hendra berhenti di tempat. Ia berbalik memandang Sabili di belakangnya. Perjalanan mereka masih cukup jauh karena pemakaman lima teman mereka berada di pojok lahan, tetapi Sabili malah membuatnya ingin berdebat sekarang.

JERUJI IKRAR | TAMAT & TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang