Bagian 38 | Merapatkan Jasad

98 44 6
                                        

Bagian 38 | Merapatkan Jasad

"Kembalinya jasad hanyalah sebuah siasat."

🖋🖋🖋

Awan telah mendung, saling menggumpal dan membentuk kawanan-kawanan yang membuat langit menjadi kelabu. Gerimis mulai turun, menerpa pakaian dan menembus untuk menyentuh kulit. Angin terasa amat teduh. Pembantu hidup manusia itu tampaknya sengaja membuat hujan berada di tempat yang sama tanpa berusaha membawanya ke mana pun.

Gemuruh guntur datang tiba-tiba sehingga beberapa orang yang memegang peralatan mengandung unsur besi segera melepaskannya. Aba-aba selanjutnya dari atasan mereka adalah berteduh di pondok dekat pintu masuk pemakaman umum. Agaknya pekerjaan mereka untuk membongkar makam harus tertunda.

Junar memandang langit sambil menggenggam ponsel yang menampakan ramalan cuaca hari ini. Dia mengembuskan napas kasar, memang benar bahwa manusia tidak bisa menandingi kekuasaan Tuhan. Para pekerja yang menangani tugas penggalian makam duduk di lantai pondok, kemudian bersandar pada tiang di belakang mereka.

"Seharusnya hari ini gak hujan. Prediksi cuaca juga hari ini cerah berawan," keluh Junar saat membayangkan pekerjaannya harus tertunda.

Tugas yang tengah diemban oleh Junar adalah membongkar makam Teja, sesuai perintah atasannya. Ia pun sudah mendapatkan izin dari orang tua Teja melalui panggilan telepon beberapa hari lalu, tepatnya hari sabtu kala Junar sedang tidak mempunyai kegiatan apapun. Orang tua Teja pun turut hadir saat ini.

Junar memandang miris ke arah Ibu Teja. Wanita berusia 40 tahunan itu sudah tidak memikirkan penampilan. Ia hanya memakai kemeja dan rok panjang berwarna hitam. Tidak ada polesan sedikitpun di wajahnya sehingga memperlihatkan kantung mata yang telah gelap. Tubuhnya sangat kurus, mungkin saja beliau tidak bisa makan teratur. Tatapannya kosong menatap ke arah makam Teja yang sudah setengah dibongkar.

Sedangkan Ayah Teja sudah pulang lebih dulu karena pekerjaan penting yang menantinya. Beliau sempat berpesan kepada Junar supaya mengawasi istrinya dan memastikan istrinya pulang dengan selamat. Meski sudah mempekerjakan sopir, Ayah Teja tidak yakin istrinya bisa sampai di rumah dalam keadaan baik-baik saja.

Junar mengembuskan napas pelan, ia tidak kuasa menatap pemandangan menyedihkan tersebut. Sebagai seseorang yang sudah bertugas dalam memecahkan berbagai macam kasus, Junar harus mulai menata perasaannya supaya tidak terbawa emosi seperti pada saat ini. Ia bertekad untuk menuntaskan semuanya hingga menggali akar-akar permasalahan ini.

Salah satu alasan Junar menyanggupi untuk menangani kasus ini adalah karena keinginannya dalam mengungkapkan kasus yang sudah bertumbuh sejak dia masih sekolah di SMA Pinang Gading. Kontrak kerja sama yang tidak masuk akal serta masa depan yang disetir oleh pihak sekolah membuat Junar cukup muak.

Ia berpikir jika pihak sekolah hanya akan berlaku demikian tanpa berbuat lebih jauh. Ternyata dugaannya amat salah besar. Semakin banyak keuntungan yang diperoleh pihak sekolah dari para siswa dan donatur, semakin kuat pula keinginan mereka mengikat dan membungkam siswa-siswa tanpa penopang di belakang mereka.

"Semua menjadi berantakan sejak Pak Gahar naik jabatan dan Yudhis hilang kendali atas organisasi yang dia buat," ucap Junar pelan tanpa bisa didengar siapapun terkecuali dirinya sendiri.

Junar tersenyum sebentar kepada para pekerja dan pamit ingin membeli minuman. Ia berjalan di tengah hujan dengan payung hitam di genggamannya.

"Tapi bukannya semua ini aneh, ya? Yudhis kehilangan kendali padahal dia seorang ketua organisasi penerima hak istimewa." Junar mengembuskan napas pelan. Kaki panjangnya sudah keluar area pemakaman, namun ia masih enggan beranjak menuju mobilnya.

JERUJI IKRAR | TAMAT & TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang