Selamat malam/pagi/siang/sore
Sudah cukup lama saya tidak berkelana dicerita ini, jadi saya mohon untuk memberikan kritik dan saran apabila ada kata yang kurang dimengerti karena saya memang cukup sibuk akhir-akhir ini.
Selamat membaca
_____
Bagian 22 | Mengasuh Alur
"Ketidakadilan akan menerangi kita selamanya."
🖋🖋🖋
Hunian sepi, oleh raga penuh luka
Semasa masih hidup santai dulu, sekiranya waktu ditarik kembali ke tiga bulan sebelum bulan november, pernah ada seseorang yang mengatakan kata-kata bijak.
"Kadang kala, beristirahat sejenak itu perlu. Tidak perlu memaksakan diri untuk melewati batas. Sebab yang telah ditakdirkan kepada kita, akan tetap menjumpai kita."
Saat itu, diakhir bulan juli, ketika hujan lebat mengguyur tanah, lelaki berambut gondrong memberi wejangan. Ia berantakan, baju sekolahnya tidak dikancingkan dengan benar, kalung rantai menjuntai di leher, celana berbahan jeans sobek-sobek di area lutut, dan sebatang rokok yang sedang ia hisap semakin memperjelas bahwa lelaki itu seorang berandalan.
"Jangan terlalu serius menjalani hidup, bung! Bergeraklah sesuai arus dan tetapkan tujuan kepada alam setelah kematian dahulu," lanjutnya meregangkan lengan.
Si berandalan menguap lebar, sesekali menggaruk perut seperti seorang berbadan besar dan perut bulat yang biasanya acap kali dilihat ketika tengah mengurus bermacam-macam dokumen apabila ingin melamar kerja.
Udara kota semakin menusuk kulit, menyebarkan hawa dingin sehingga tubuh berubah menggigil. Namun, si berandalan tetap bersikap biasa saja. Dia menatap lawan bicaranya yang menunduk tanpa mengeluarkan suara, lantas tangannya menggoyangkan pelan bahu orang di sampingnya.
"Bung, masih bangun, kan?" tanyanya setengah bergurau. Dia dapat melihat raut serius dari orang di sampingnya, sehingga membuat si berandalan terdiam.
Lengang sejenak. Si berandalan memilih membungkam diri. Tatapan matanya mengarah ke depan, menampakkan jalanan kota yang diimbangi dengan kendaraan beroda dua dan empat, saling mendahului satu sama lain seakan-akan waktu yang mereka miliki akan segera berakhir. Tanpa peduli pada kecelakaan di depan mata.
Si berandalan mengambil karet berwarna coklat tua dari saku celananya, karet yang dia bawa setelah mencurinya dari ikatan kangkung milik Ibunya. Lantas si berandalan mengikat rambutnya dengan amat telaten seperti seorang yang telah ahli.
Dia menghela napas pelan, kemudian mengangkat kaki kirinya ke kursi. "Bung, hidup ini memang lebih banyak tidak adilnya. Tapi bagaimana pun, hidup tetaplah hidup. Mau tidak mau, tetap harus kita jalani. Meski sebenarnya dalam hati kita terbesit rasa enggan, kita mesti menjalaninya dengan rasa syukur."
Si berandalan menoleh, mendapati sosok di sampingnya sedang memokuskan pandangan terhadap jalanan kota. Kemudian dia lanjut berkata, "banyak sekali orang yang telah mati menginginkan kehidupan kembali menyapa mereka. Banyak yang menyesali perbuatan tidak berguna mereka di dunia karena semuanya akan mendapatkan balasan di akhirat kelak. Tapi Bung, janganlah pula berpikir bahwa hidup kita sekarang ini banyak tekanan karena beragam kewajiban harus kita jalani."
"Kenapa?" tanya lawan bicara si berandalan. Dia sudah tak tahan karena si berandalan terus-menerus membahas kehidupan yang sepatutnya dijalani dengan begitu mudah. Padahal bagi dirinya, semua itu amat sangat sulit.
KAMU SEDANG MEMBACA
JERUJI IKRAR | TAMAT & TERBIT
Mystère / Thriller"Sang Pecandu datang." Riwayat kami akan segera tamat apabila manusia sialan itu tiba. Kegelapan kembali merenggut paksa harapan kami untuk bebas. Jalan yang telah kami tempuh dengan keringat, air mata, dan pemikiran harus berakhir seperti ini. Kam...
