Bagian 30 | Segera Menyetujui
"Rahasia ada karena rasa tidak percaya kepada orang lain."
🖋🖋🖋
Azan magrib telah berkumandang yang menandakan waktu salat telah tiba sekaligus mengabarkan kepada seluruh makhluk bumi yang berpijak di tanah kota ini bahwa malam sudah kembali menyapa. Di langit, terbentang awan bergumpal berwarna abu tua, menyapu senja yang disambut meriah oleh riuh angin kencang. Burung-burung yang semula melambung tinggi mulai terbang menukik menuju sarang masing-masing, seakan tahu kalau sudah waktunya mereka mengistirahatkan diri.
Di depan gerbang asrama Pinang Gading terdapat dua orang pemuda yang mengamati semua hal tersebut. Salah seorang yang lebih tinggi menampilkan raut sayu, kedua tangannya dimasukkan dalam saku celana, kacamata dengan bingkai hitam dibiarkan bersandar pada hidung mancungnya, helaan napas berat sontak keluar dari mulutnya.
Sedangkan yang lebih rendah beberapa senti memilih menutup mata, menikmati belaian angin sore seraya membenarkan peci rajut yang ia kenakan, sarung bermotif batik warna merah keunguan menutup sempurna bagian bawahnya, ia lantas memamerkan kesan seorang lelaki baik nan terpandang.
Alasan kedua pemuda itu berdiri depan gerbang adalah selepas mengantarkan tiga tamu mereka yang baru saja pergi. Meski sang tamu telah menjauh dari pandngan mata, dua pemuda itu belum ingin beranjak.
"Gue mau ke Masjid dulu, Bang. Lo mau ikut?" tanya seorang pemuda yang lebih pendek beberapa senti. Si lawan bicara hanya mengangguk pelan sebagai jawaban.
Tanpa banyak bicara lagi, mereka segera pergi menuju Masjid terdekat. Riuh tawa anak kecil yang sedang bermain-main di teras Masjid selalu menjadi santapan mata, tentu membuat mereka mengenang masa lalu saat seusia anak-anak itu.
Area wudu khusus lelaki langsung mereka datangi. Sembari melepas satu per satu aksesoris yang menjuntai di tangan, mereka akhirnya menunaikan salah satu syarat sebelum melaksanakan kewajiban mereka sebagai seorang muslim.
Beberapa menit berlalu, keduanya lantas memasuki dalam Masjid dan mulai menempati barisan paling depan. Sang Imam kemudian mengabarkan untuk meluruskan shaf sebelum salat dilaksanakan. Alasannya supaya tidak ada celah bagi setan untuk menyela barisan.
Raut wajah mereka yang semula kurang menyenangkan berubah serius. Segala kekhawatiran seketika lenyap tergantikan ketenangan.
Kewajiban yang telah mereka laksanakan berangsur-angsur selesai. Para jemaah mulai keluar dari Masjid dan berhamburan memenuhi jalanan raya kembali. Ada pula yang tampaknya masih betah di kawasan sekitar tempat suci itu, memilih duduk di tangga Masjid seraya memandangi suasana kota kala malam menghantam atau sekadar menikmati dinginnya embusan angin yang berpadu pada gemerlap bintang-bintang malam di langit.
Dua pemuda yang sempat dilanda keresahan itu mengikuti opsi kedua. Mereka duduk berdampingan di tangga Masjid urutan ketiga dari sebelas anak tangga yang ada di sana. Keduanya saling memandang satu sama lain lalu tersenyum kecil.
"Dunia ini semakin lucu aja ya, Bang. Banyak banget kejadian yang gak kita sangka terjadi. Kita ini kayaknya sudah mau memasuki area siap menempuh kepahitan dunia," ucap pemuda yang memakai sarung.
Sang lawan bicara tertawa kecil mendengar ucapan sok puitis tersebut. "Kalau dikaitkan dengan kepahitan dunia, kita udah lama merasakannya, Surya. Mungkin sudah dari sewaktu kita bayi atau balita, kita diharuskan belajar berjalan, diharuskan mengingat kosa-kata yang beragam, lalu beraktivitas. Tapi memang sudah menjadi keharusan, jadi kalau lo bilang kita baru akan menempuh pahitnya dunia, menurut Abang itu kurang tepat, deh."
KAMU SEDANG MEMBACA
JERUJI IKRAR | TAMAT & TERBIT
Mystery / Thriller"Sang Pecandu datang." Riwayat kami akan segera tamat apabila manusia sialan itu tiba. Kegelapan kembali merenggut paksa harapan kami untuk bebas. Jalan yang telah kami tempuh dengan keringat, air mata, dan pemikiran harus berakhir seperti ini. Kam...
