Bagian 44 | Sebelah Pihak

101 36 5
                                        

Bagian 44 | Sebelah Pihak

"Pada lingkungan yang sama, setiap orang bisa tumbuh berbeda."

🖋🖋🖋

Hari mulai mendung sejak tadi pagi. Rintik hujan mulai terlihat di antara bayangan sinar matahari, meski tidak bersuara. Para anak laki-laki terus bermain sepak bola di lapangan yang luas tanpa mengindahkan baju mereka akan basah oleh gerimis. Ah, sepertinya mereka sudah tidak bisa membedakan rintik hujan dan keringat mereka sendiri. Semuanya tertawa riang, terlihat dari jendela kaca kelas sepuluh empat.

Di dalam kelas sepuluh empat, sudah banyak sekali siswa-siswi berkerumunan dengan kelompoknya masing-masing. Mereka saling mengobrol satu sama lain dari satu topik ke topik lainnya.

Kelompok pertama yang duduk di pojok ruangan bagian depan dekat jendela, terdapat para gadis-gadis dengan dandanan mencolok tampak sedang memamerkan barang-barang untuk perawatan kulit mereka. Kelompok kedua diisi oleh anak lelaki yang bermain bola voli dalam kelas, padahal sudah ditegur beberapa kali oleh sang ketua kelas, tetapi mereka memilih menulikan telinga.

Selanjutnya, ada kelompok yang terdiri dari dua kaum di bumi ini, kaum Adam dan Hawa. Rombongan mereka cukup besar karena memuat lebih dari setengah seisi murid di kelas. Mereka berisi murid-murid berprestasi dan anak-anak organisasi. Biasanya, mereka akan bersenda gurau bersama, tidak peduli betapa berisik suara yang mereka hasilkan.

Lalu, di pojok ruangan, tempat duduk urutan terakhir, ada seorang lelaki yang tengah merana. Salah satu tangannya sengaja ia ulurkan ke depan, sedangkan tangan kirinya sengaja ia tekuk untuk dijadikan bantalan bagi kepalanya.

Kali ini ia sendirian. Tidak tahu harus berbuat apa, menyalahkan diri sendiri dan mencemaskan teman-temannya adalah opsi terbaik dalam hidupnya saat ini.

Dalam heningnya, lelaki itu sungguh gelisah. Jantungnya berpacu cepat membayangkan keadaan teman-temannya, apalagi Sabili yang tidak tahu keberadaannya.

"Di mana cahaya mati, di situ bayang-bayang hidup. Kematian hanya awal menempuh kebenaran karena kehidupan adalah bagian dari kebohongan."

Lagi dan lagi, hanya kalimat itu yang mampu membuat Abimanyu lesu. Ia tidak mengerti akan teka-teki yang diberikan oleh sang penelepon semalam. Ia pun sebetulnya tidak berbiat mencari tahu karena takut jika itu hanya cara untuk mempermainkan dirinya.

Bibir keringnya lantas ia gigit kuat-kuat. Kepalanya yang semula berbaring tak berdaya di atas meja langsung bergerak menjadi tegap. Tangannya lantas mengacak rambut frustrasi. Jika saja sekarang Abimanyu sedang berada di tempat sepi, maka ia akan berteriak sekencang-kencangnya.

Tatapan anak-anak sekelasnya sama sekali tidak mengusik Abimanyu. Ia tidak peduli apabila dianggap sudah gila karena berperilaku seperti ini.

"Ah ... anu, Abimanyu ... lo sehat, kan?" tanya salah satu gadis dari kelompok pertama. Ia memandang Abimanyu dengan tatapan horor.

Anggapannya tentu menjadi hal wajar sebab awalnya Abimanyu berbaring lemah, lalu tiba-tiba bangkit dan memperlihatkan wajah putus asa. Gadis itu hanya takut jika teman sekelasnya kesurupan.

"Sehat kok, cuman mental yang agak sakit sedikit aja. Biarin aja gue, kalian lanjut aja ngobrolnya." Abimanyu menjawab ala kadarnya.

Gadis itu memandang sekilas, kemudian kembali mengobrol dengan teman-temannya.

Selepas perhatian tidak kembali berpusat kepada dirinya, Abimanyu mengeluarkan buku dari lacinya. Itu adalah buku matematika catatan yang pada halaman belakangnya terdapat banyak coretan berisi angka-angka hitungannya.

JERUJI IKRAR | TAMAT & TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang