Bagian 47 | Meneguk Lara
"Mustahil rasanya setiap insan mengerti dirinya sendiri, sebab standar yang ia bangun saja mengikuti orang lain."
🖋🖋🖋
"Jangan senyum-senyum mulu bisa gak, sih?" Desis lelaki tampan berwajah bak seorang blasteran.
Dia duduk di sebelah tempat tidur pasien, menemani orang yang dia cemaskan supaya bisa menurunkan perasaan gelisah dalam hatinya. Mulai mendapati tubuh temannya yang terbaring di atas lantai berdebu dengan darah menggenang, lelaki rupawan itu telah kehilangan arah. Dia bingung ingin berbuat apa, bahkan saking pikirannya kosong, dia memilih bolos sekolah dan tidak membersihkan tubuh dari darah teman yang ia khawatirkan ini.
"Mending lo tidur, deh. Lo butuh banyak istirahat, jangan hiraukan kami di sini. Hari juga udah gelap," ujarnya memperbaiki selimut sang pasien hingga menutupi dada.
Sore ini berjalan lebih cepat kala hujan menjadi musik penyambut malam. Untungnya petir dan guntur tidak ikut menambahkan alunan. Hanya suara-suara rintik semburan awan gelap yang menerpa jendela kaca di sebelah tempat tidur seorang pemuda dengan infus di tangannya.
Kepala pemuda itu diperban, mata kanannya bengkak, pipinya menyumbang beberapa luka gores yang sudah diobati. Walaupun begitu, ia tetap tersenyum demi menenangkan Bunda dan teman-teman yang mengunjungi dirinya.
"Bosan tidur melulu," keluh sang pasien. Ia memandang teman-temannya satu persatu. Bibirnya terbuka untuk mengungkapkan sesuatu. "Mending kita main uno. Daripada kalian lihatin gue kayak gitu."
"Kalau lo udah sehat, nanti kita main uno bareng. Dari pagi ketemu pagi lagi juga gue ladenin, makanya sekarang lo banyak-banyak istirahat dulu supaya tubuh lo kembali bugar!" balas lelaki rupawan di sebelahnya.
Sang pasien menghela napas berat. Dia menunjukkan raut protes sambil mengerucutkan bibirnya. "Apaan banget lo, Jo. Udah kayak anak kecil aja disuruh-suruh istirahat. Padahal cuman luka beginian, kecil ini bagi gue!"
"Apa lo bilang? Luka kecil? Heh! Luka kecil mana yang sampai ditangani berjam-jam? Kepala lo itu cedera dan hampir saja mengalami pembekakan atau lebih parahnya pendarahan otak kalau saja gak ditangani lebih cepat. Syukurnya lo cepat mendapatkan perawatan, cederanya masih bisa ditoleransi sama tubuh lo sehingga lo bisa sadar dengan begitu cepat kayak sekarang. Harusnya lo sekarang mikir agar bisa cepat pulih, bukan malah ngeyel waktu dibilangin!" Geram Jonathan kepada Surya yang terlalu menyepelehkan lukanya sendiri.
Target yang ditujukan oleh Jonathan malah cengengesan tanpa menunjukkan raut menyesal ataupun ekspresi bahwa ia sadar berkat omelan sahabatnya.
"Maklum, Jo. Seperti kata lo, kepala gue itu cedera karena menghantam benda keras jadi masih belum bisa berpikir normal," bela Surya pada dirinya sendiri. "Ya, kan, Bunda!"
Sang Bunda hanya mengulas senyuman tipis. Beliau sibuk mengemas pakaiannya dari tas ke lemari sebelah ranjang Surya. Keputusan untuk menginap dan menjaga anaknya sudah bulat.
"Terserah kamu aja, Dek. Bunda gak bisa berbuat apa-apa karena kamu pastinya bakalan kesal kalau Bunda setuju sama ucapannya Jonathan," jawab wanita berusia kurang lebih 41 tahun itu.
Surya mengerutkan dahinya tidak suka. "Bun, jangan panggil aku Adek. Aku itu udah besar, di depan teman-temanku lagi."
Sang Bunda tersenyum kecil sambil mengangkat bahunya sekilas. "Kenapa memangnya? Kamu malu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
JERUJI IKRAR | TAMAT & TERBIT
Mystère / Thriller"Sang Pecandu datang." Riwayat kami akan segera tamat apabila manusia sialan itu tiba. Kegelapan kembali merenggut paksa harapan kami untuk bebas. Jalan yang telah kami tempuh dengan keringat, air mata, dan pemikiran harus berakhir seperti ini. Kam...
