Bagian 42 | Terjerumus Jebakan Tikus
"Ada kalanya lebih baik membiarkan seseorang berdebat dengan opininya sendiri, dibandingkan meluruskan hal yang tengah terjadi."
🖋🖋🖋
Suasana malam hari di rumah sakit memang sangat mencekam. Lampu-lampu di sepanjang koridor melemah, saling berkelip-kelip seakan tidak mampu lagi bersinar seperti biasanya. Suara-suara gesekan antara brankar pasien dan lantai yang dibawa dari dalam mobil ambulans memecah kesunyian, menimbulkan perasaan panik yang membuncah. Bau disinfektan pada obat-obatan mengisi udara, salah satu ikon terbaik rumah sakit.
Bunyi peralatan medis ikut menjadi pengiring irama detak jantung seorang lelaki berseragam sekolah yang sedang sekarat. Langkah perawat terdengar terburu-buru dalam membelah lautan pengunjung pun pasien demi membawa anak sekolah yang tengah terkapar tak berdaya ini selamat. Wajah mereka memerah karena menganggap setiap detik sangat berharga.
Di atas brankar tersebut, si pasien yang dikhawatirkan telah menutup matanya akibat tak kuasa menahan rasa sakit. Ia pingsan, tanpa menyadari bahwa sekelilingnya sedang mencemaskan dirinya.
Teman-teman dari lelaki itu berseru panik. Mereka berlarian, ikut mengantarkan sang sahabat ke ruangan perawatan. Hanya saja langkah mereka harus segera dihentikan tepat sebelum mereka menerobos masuk.
"Kalian di sini saja, saudara Surya akan kami tangani semaksimal mungkin."
Begitulah ucapan singkat oleh salah seorang perawat yang pakaiannya sudah berbaur dengan darah dari kepala Surya. Dengan cekatan, perempuan itu menutup pintu. Ia membiarkan teman-teman Surya diliputi perasaan gelisah, menyelami dasar lautan kesedihan.
Lima orang lelaki, para sahabat Surya, hanya mampu terduduk di lantai. Pandangan mereka berbeda-beda. Ada yang menangis tersedu sambil meratapi nama Surya, yaitu Galen. Ada Jonathan yang memegangi dadanya karena rasa sesak yang menyiksa. Ada Jeffran dengan pakaian berlumuran darah, pandangannya kosong menatap tangannya sendiri yang masih menyisakan tetesan darah sang kawan.
Hendra tidak pernah lepas memanjatkan doa meskipun ia ikut terisak. Ia sudah menelepon Bunda Surya, mengabarkan bahwa anak beliau masuk rumah sakit. Dalam hati, Hendra menyalahkan dirinya sendiri sebab Surya menjadi seperti sekarang.
Lalu, di depan pintu ruang perawatan, ada sesosok lelaki yang memandang kosong ke dalam. Dia tidak menangis, pun berdoa seperti teman-temannya. Tangannya terkepal, menandakan bahwa ia sedang diliputi amarah. Rahangnya mengeras bersamaan dengan amukan dalam pikiran yang mengatakan bahwa dirinya telah gagal menjadi seorang pemimpin.
"Eugh ... ka-kalau aja lo gak ajak kita ke vila bang Septiawan ... semua ini, semua ini gak bakalan terjadi!"
Mata Galen menyoroti Abimanyu dengan amarah. Ia tidak tahu alasan semua ini terjadi. Namun jelas, perkara ini berlangsung adalah akibat dari perilaku tergesa-gesa mereka demi mengungkapkan kasus kematian teman-teman mereka.
Wajah Galen memerah, air matanya mengalir begitu deras. Alisnya terkatup, kerutan pada alisnya amat dalam. Ia berdiri dengan napas terengah-engah mendekati Abimanyu.
"Lo mengecewakan tahu, gak?" Galen berucap pedas sambil menunjuk sang kawan. "Kami iyain ajakan lo cari bukti, tapi sekarang malah mencelakakan salah satu teman kami!" ketusnya.
Abimanyu memandang Galen sendu, ia pun sebenarnya kecewa kepada dirinya sendiri. Tidak perlu Galen sebutkan, ia sudah tahu bahwa sesungguhnya ia alasan dari semua ini.
"Maaf," sesal Abimanyu menundukkan kepalanya.
Melihat respon Abimanyu, Galen menjadi semakin terbakar. Bahu dan tubuhnya bergetar hebat, menandakan betapa besar emosi yang sedang berusaha ia pendam. Dalam sekali percobaan, Galen menarik kerah baju Abimanyu sehingga membuat sang kawan tercekik.
KAMU SEDANG MEMBACA
JERUJI IKRAR | TAMAT & TERBIT
Mistero / Thriller"Sang Pecandu datang." Riwayat kami akan segera tamat apabila manusia sialan itu tiba. Kegelapan kembali merenggut paksa harapan kami untuk bebas. Jalan yang telah kami tempuh dengan keringat, air mata, dan pemikiran harus berakhir seperti ini. Kam...
