Bagian 40 | Vila Septiawan
"Hidup tak lepas dari serpihan kaca, semuanya tampak halus namun terasa menyakitkan."
🖋🖋🖋
Hari mulai temaram, para penghuni kota mulai sibuk untuk pulang ke rumah masing-masing. Jalanan semakin padat oleh para pekerja maupun anak sekolah. Kebisingan tidak bisa terhindarkan lagi karena suara knalpot yang bercampur dengan klakson kendaraan masing-masing. Kemacetan kembali terjadi, meski bukan untuk pertama kali, tampaknya orang-orang masih tetap tidak sabaran menunggu giliran mereka bisa melaju bebas tanpa mengantre dalam menit-menit membosankan.
Di antara keramaian yang memekakkan telinga, terdapat enam pemuda saling berboncengan menggunakan tiga motor yang berbaris paling depan di pemberhentian lampu merah. Mereka adalah siswa SMA Pinang Gading yang baru saja selesai menjalani hari-hari membosankan di sekolah tanpa kehadiran sang pemimpin.
Ketika lampu jalan menunjukkan warna hijau, mereka lantas kembali memacu motor masing-masing. Tujuan mereka adalah perempatan jalan dekat taman kota, tempat yang telah dijanjikan oleh sang pemimpin mereka. Meski sudah jam lima sore, tampaknya mereka tidak keberatan untuk memenuhi perintah dari pemimpin mereka.
Galen, salah satu pengendara motor yang membonceng temannya yaitu Jonathan, tidak pernah absen dalam mengomentari banyaknya pengendara yang mereka temui di jalanan. Sebatas anak muda kasmaran mendahului mereka saja langsung menuai celotehannya.
"Ih, lo lihat mereka bang! Pacaran gak tahu tempat aja. Mana masih SMP udah turun ke jalan raya pakai motor sendiri terus bonceng pacar lagi. Masih kecil udah berani-beraninya buat orang sakit mata. Berkendara di bawah umur, pake motor masih juga oleng kadang kiri kadang kanan, seinnya gak digunakan kalau mau belok. Kalau gue udah jadi petugas jalanan, udah gue tegur tuh mereka!" omel Galen masih belum berniat menghentikan kalimat dalam kepalanya.
Jonathan hanya mengangguk saja sebab tidak terlalu mendengar ucapan Galen. Salahkan Surya yang memberikannya helm sempit saat ia meminjam benda keselamatan itu di asramanya.
"Bang Jo, lo dengar gue gak?" tanya Galen menaikkan suaranya.
Jonathan mengangguk lagi. "Iya, iya. Motornya bagus!" jawab Jonathan yang sebenarnya hanya mendengae beberapa penggal kata dari lawan bicaranya, yaitu motor, sein, dan petugas jalanan.
Mendengar jawaban Jonathan lantas membuat alis Galen berkedut. Namun setelahnya ia mengurungkan niatnya untuk kembali bertanya apa maksud ucapan Jonathan, ia menyangka bahwa ialah yang salah dengar.
"Iya kan, makanya gue juga heran kenapa mereka diizinkan pake motor padahal masih kecil."
Galen membalas ucapan Jonathan sesuai topik awal. Dia tidak memedulikan jika ternyata Jonathan sama sekali tidak menyimak ceritanya. Mulutnya terus mengungkapkan komentar-komentar lain demi mengusir rasa bosan di perjalanan. Lagipun, hari ini ada saja pengendara yang memancing Galen untuk bersuara.
Bukan hanya anak SMP yang sedang dimabuk asmara sehingga berkendara oleng, ada pula seorang lelaki mendahului mereka dengan suara knalpot yang amat berisik, pun rambut lelaki itu berwarna pirang. Oleh karena penampilannya, lelaki itu terasa lebih tua dibandingkan usianya. Celana sobek-sobek di bagian lutut, jaket bomber warna hitam, serta sandal kuning selop, semua itu tentunya menarik perhatian Galen.
Selagi Galen masih berucap hal-hal negatif kepada orang yang mendahuluinya, Jonathan menoleh beberapa kali ke belakang untuk menengok teman-temannya yang sedang memperhatikan sekitar demi menemukan letak Abimanyu berada, si pemimpin yang memberi arahan supaya mereka bertemu.
KAMU SEDANG MEMBACA
JERUJI IKRAR | TAMAT & TERBIT
Mystery / Thriller"Sang Pecandu datang." Riwayat kami akan segera tamat apabila manusia sialan itu tiba. Kegelapan kembali merenggut paksa harapan kami untuk bebas. Jalan yang telah kami tempuh dengan keringat, air mata, dan pemikiran harus berakhir seperti ini. Kam...
