Dua Puluh Satu

24.2K 1.7K 70
                                    

"Kamu mau makan apa? Jangan yang berat- berat dulu. Ususmu pasti belum kuat mencerna makanan yang berat- berat. " Mereka berdua berjalan di lantai satu mal yang pada akhir pekan itu dipenuhi oleh pengunjung.

Davinsha ngotot hari ini harus dapat oleh - oleh. Tadinya, ia bersikeras untuk pergi ke pasar Klewer. Akan tetapi, tentu saja Giri melarang keras Davinsha untuk berdesak- desakan di dalam pasar saat sedang ramai - ramainya begini. Khawatir bila perempuan itu bisa sesak napas berdesak-desakan dengan para pemburu batik di pusat tekstil terbesar di Solo tersebut.

Jadinya,  Giri mengusulkan  untuk berbelanja oleh- oleh di mal sebagai ganti agenda mencari oleh-oleh di pasar.

"Apa dong?" Davinsha ikutan bingung sendiri. Beberapa hari ini, dia lebih banyak makan kuah kaldu ringan yang dibuat sendiri oleh Giri untuknya.

Cara pria itu mengurus dan memanjakan Davinsha,  membuat perempuan itu mati- matian mencoba supaya tidak baper. Tapi mustahil, karena Giri sepertinya tidak berniat menghentikan untuk tetap meladeni Davinsha dengan telaten,  seolah-olah perempuan itu adalah penderita penyakit berat.

Siang itu, dalam balutan tank top yang dilapisi sweaters rajut warna hijau daun sage dan dipadukan dengan celana pendek warna putih, Davinsha  berjalan dengan perasaan ringan. Sepasang kakinya dibalut sneaker warna putih. Dan rambutnya hanya digelung dengan tusuk konde di puncak kepala, membuatnya tampak seperti warga lokal yang tengah menikmati hari libur bersama kekasih tampannya.

Tangannya tidak lepas dari tangan Giri. Dengan protektif, lelaki itu terus  menggandengnya sejak turun dari mobil sewaan . Sementara tangan yang lain membawa hasil buruan belanjaan mereka. "Dapetnya sedikit kan kalo di mal ...." Davinsha masih merajuk. "Kalo di pasar pasti banyak."

"Terus bikin kamu desak- desakan sama banyak orang? Kamu kan tahu, Vin, pasar Klewer itu pusat tekstil terbesar di Solo. Hari libur begini pasti penuh banget. Kamu bisa pingsan nanti."

Davinsha menatapnya galak.

"Ya kalo mau sepi jangan di pasar!" Davinsha membantah jengkel. "Mas Giri ini ngacoin agenda gue aja deh!"

Giri tidak menjawab. Hanya menatap intens perempuan yang kini berada dalam rangkulannya. "Jadinya mau makan apa?" suaranya berubah lembut. Membuat sekujur tubuh Davinsha bergetar oleh perasaan ganjil yang menyenangkan.

Kepalannya menengadah, tatapannya bertemu dengan sepasang mata gelap milik Giri. Langkah mereka tiba- tiba terhenti. Di tengah - tengah lautan pengunjung mal pada akhir pekan, keduanya terbungkus dalam gelembung dunia mereka sendiri. Terpesona. Terpana. Mungkin juga jatuh cinta.

Giri sendiri tidak bisa menghindarkan dirinya untuk jatuh lebih dalam pada pesona perempuan itu. Untuk sesaat lamanya, ia ingin melupakan segalanya. Melupakan seluruh agenda hidupnya. Seluruh rencana yang telah ia siapkan matang- matang dalam setahun ini.

Ia tahu, pertemuannya dengan Davinsha telah merusak sebagian dari rencana itu. Tapi ia berharap segalanya bisa sepadan dengan risiko yang ia ambil.

"Davinsha .... " Suara Giri berubah berat. Ada semacam kabut di kedua matanya yang segelap tengah malam itu. Lelaki itu sudah akan menunduk untuk mencuri kecupan dari bibir perempuan yang sudah demikian pasrah dalam dekapannya.

Hanya saja sebuah insiden, membuat momen itu buyar seketika. Ketika, seorang cowok tinggi besar dan tambun, berambut keriting berjalan sambil meleng karena matanya terfokus pada gawai. Tidak sengaja ia menubruk pasangan itu.

Kepalannya kemudian tersentak. Ia kaget dan menatap dua orang di depannya dengan muka cengo. "Eh, maaf, maaf. Saya ndak liat e."

Akhirnya, dengan satu tatapan angker dari Giri, cowok itu langsung ngacir sambil nyengir- nyengir.

UndercontrolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang