Dua Puluh Lima

22.2K 1.5K 33
                                    

"Rasanya gue mau nangis aja kalo kayak gini, Rob." Keluh Davinsha sedih.

"Gue balik dari Surabaya ke sini itu tujuannya  buat nemenin nyokap. Tadinya juga enggak mikirin kalo sewaktu-waktu gue bisa ketemu sama dia lagi. Jakarta begitu luas. Dan gue percaya itu. Toh selama lima tahun di sini, sekalipun gue belum pernah ketemu sama Farrel lagi. "

Farrel adalah pacar pertama Davinsha. Mereka mulai pacaran sejak kelas XI. Putusnya hubungan mereka adalah lantaran dua- duanya sudah merasa bosan pacaran  yang cuma gitu- gitu saja. Farrel yang sibuk sebagai  kapten basket di sekolah mereka, jauh lebih sering nongkrong bareng teman- teman satu tim  basketnya ketimbang dengan Davinsha .  Sementara Davinsha sendiri juga sibuk  dengan dunia yang baru bersama beberapa teman cewek dan majalah sekolah.

Sewaktu SMA, Davinsha bergabung dengan club literasi sekolah. Dia yang suka berkutat dengan majalah dinding. Berburu segala macam informasi dan trivia di internet, sampai ikutan lomba- lomba mading  antar sekolah dengan hadiah  yang paling umum macam piala dan uang pembinaan yang tak seberapa jumlahnya, hingga yang berhadiah liburan berkedok studi perspektif, mengunjungi kantor- kantor tempat majalah sekelas HAI, Aneka  Yess, Cosmo hingga Gaul.

Farrel sendiri akhirnya bisa masuk ke universitas negeri di Bandung lantaran beasiswa basket. Setelah lulus dari teknik pertambangan, gosipnya dia melanjutkan kuliah ke luar negeri.

Dari salah satu teman SMA nya yang bernama Tobi, Davinsha tahu kalau sekarang ini Farrel ada di Brunei. "Baru tahun ini sih dia di Brunei. Sebelum- sebelumnya dia di Balikpapan. Sebelum  itu dia di Jakarta kok. Masa lo nggak pernah ketemu?"

"Kenapa gue enggak ketemu sama Farrel aja ya? Kan jadinya lebih gampang." Davinsha berangan- angan.

"Pengandaian elo tuh salah tempat." Robi kembali menyuap bubur ayamnya. Sore tadi Robi mampir ke Ranjana. Bawa sekardus oleh- oleh dari Surabaya. Tentu saja diantaranya adalah sambal Bu Rudy. Kedoyanan Davinsha semenjak ia menginjakkan kaki di Surabaya sepuluh tahun yang lalu.

Dari Ranjana, akhirnya Davinsha menyeret lelaki itu untuk berburu kuliner di Barito. Dan seperti biasanya, kalau ke Barito, Robi tidak bisa skip bubur ayam yang pakai telur mentah itu.

Davinsha sendiri selalu mencela kebiasaan Robi yang suka makan bubur dengan cara yang menurutnya nggak lazim itu. Perempuan itu memang sensitif dengan bau amisnya. Dia sendiri lebih suka makan gultik atau sate.

Akan tetapi, demi mau menyenangkan Robi yang selalu mau saja jadi tong sampah buat segala macam curhatannya, Davinsha memilih untuk nongkrongin salah satu  menu favorit Robi itu.

Davinsha membelalakkan matanya. "Salah tempat? Salah tempat gimana sih?" Davinsha menuntut penjelasan dari kata- kata Robi barusan.

"Lo bilang begitu, hanya buat mengalihkan rasa bersalah lo sama Mel."

"Sori, Bi. Gue lagi bego. Jangan ngomong yang muter- muter." Davinsha mengaduk- aduk buburnya. Hingga bentukan dari makanan itu sudah mirip sama muntahan bayi. Nafsu makannya hari ini lenyap bersamaan dengan perutnya yang kram sejak kemarin. Sesekali, ia hanya menyeruput teh hangatnya.

"Gampangnya, lo cari aja deh cowok lain yang bukan dia."

Davinsha mendesah. "Andai gue bisa. Nggak usah disuruh sekarang pun gue pasti udah go see cari cowok di Echidna atau Nemesis. Cari cowok yang nggak punya riwayat rumit begitu!"

"Bukan Giri yang rumit, Cha. Tapi hubungan kalian. " Sela Robi.

Davinsha tertegun mendengar penuturan Robi barusan.

Isi mangkuk Robi sudah tandas licin. Robi memang nyenengin banget kalau lagi makan. Dia tipikal orang yang tidak pernah menyia- nyiakan makanan. Secuil hati Davinsha merasakan sesal karena pernah melepaskan orang sebaik Robi dari genggamannya.

UndercontrolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang