Sembilan

30.1K 2.2K 53
                                        

Dua hari kemudian Mel kembali ke Malaysia. Perempuan itu memaksa Davinsha untuk ikut mengantarnya ke bandara. "Nggak janji deh, Mel. Aku sibuk banget. Mesti keliling ngecek stok. "

"Sebentar doang kali, Vin!" sejak dulu, Melitha memang selalu bisa membujuk orang untuk mengikuti kemauannya. Kemampuan memersuasi yang dimiliki oleh sahabatnya itu memang jempolan.

Termasuk ketika sahabatnya  itu membujuknya dengan lihai, supaya Davinsha mau mendatangi Giri ke kosannya dan membujuk cowok itu untuk menjenguknya ketika dia diopname  di rumah sakit.

Hingga saat ini, Davinsha terkadang masih menyesali hal tersebut. Seandainya saja dia punya kemampuan yang sama hebatnya dalam bersikap masa bodoh, pasti semuanya tidak akan berakhir serumit ini. Dirinya pasti masih akan menjadi sahabat Mel.

Andai waktu itu dia tidak nekat pergi malam- malam ke kosan Giri sampai ketiduran di depan pintu kamar pria itu, kemungkinan besar, dia tidak akan merasakan sesuatu yang mengganjal seperti saat ini.

Davinsha bukan perempuan yang sebegitu liarnya sampai mau- mau saja tidur dengan sembarang lelaki,  setelah pernah melakukannya sekali. Jadi hingga kini, ia masih belum mempunyai  pembanding untuk performa Giri di ranjang.  Ketika tak sengaja pikirannya hinggap pada kejadian masa lalu itu, kontan mukanya memerah seperti buah tomat.

Ini tidak bisa dibiarkan. Sekarang ini Giri sudah balikan dengan Mel. Davinsha tidak mau jadi pelakor untuk kedua kalinya. Maka dari itu, sedapat mungkin, ia harus sedapat mungkin menghindari pertemuan dengan lelaki itu.

Hanya saja, belakang sepertinya hal itu bukanlah sesuatu yang mudah.

"Ya, Vin, ya! Gue tuh di Jakarta udah putus kontak sama temen- temen kita. Termasuk si Jemma. Cuma elo doang temen gue. Kalo Mas Ananta belum tentu bisa soalnya."

"Mel, gue nggak bisa ninggalin kerjaan gue seenaknya juga! Lo inget kan, gue ini masih ngebabu sama orang. Jadi cungpret alias kacung kampret di perusahaan orang. Elo sih enak ya, udah jadi AP. Nah gue? Bos bisa miting leher gue nih kalo seenak udel mangkir dari kerjaan!" Davinsha membantah. Akan tetapi sepertinya dia sudah merasa bahwa dirinya kali ini juga akan kalah telak, ketika kemudian didengarnya suara Melitha yang mendayu- dayu.

"Vin, lo tahu kan? Selain Mas Ananta tuh nggak ada yang peduli- peduli amat sama gue. Bokap gue lo tahulah gimana orangnya. Nyokap sama sekali nggak mau tahu gue mau ngapain juga! Cuma elo, Vin, yang gue punya! Bahkan, orang yang ngakunya pacar gue aja kayaknya juga ogah-ogahan banget waktu gue minta buat nganter."

Jantung Davinsha mencelus, demi mendengar kata pacar yang dilontarkan Mel barusan. Hal itu tentu saja merujuk ke sosok yang saat ini ada di kepala Davinsha.

Di dalam ruangan khusus buyer di kantor pusat, Davinsha menggigit- gigit bibirnya. "Vin, bahkan gue nggak bisa bujuk orang- orang yang ngakunya sayang gue, tapi mereka nggak pernah mau peduliin gue! Please, Vin, cuma elo yang masih bisa gue harepin. Please..."

"Oke, oke." Davinsha akhirnya merasa ia harus segera mengakhiri percakapan yang membuatnya jadi tambah pusing ini. "Jam lima, kan? Gue usahain. " Ujar Davinsha pada akhirnya. Dia tak tahan mendengar suara Melitha yang terdengar begitu mengiba itu. "Tapi gue nggak bisa janji ya, Mel?"

"Oke, Sayang. Gue tungguin jam lima nanti."

***

Seperti yang sudah diduga Davinsha sebelumnya, di coffee  shop tempat Melitha menunggu, sudah ada sosok berkemeja abu dengan rambut ikal yang acak- acakan serta celana jeans yang membalut kakinya yang panjang.

Wajah Giri tampak rusuh seperti  orang kurang tidur ketika Davinsha menghampiri meja tempat mereka telah menunggu. Davinsha nyaris menerjang ke arah Mel karena merasa marah begitu tahu lagi- lagi dirinya ditipu mentah-mentah oleh sahabat sendiri. Atau kali ini dia memang bodoh.

UndercontrolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang