Tiga Puluh Satu

21K 1.3K 12
                                    

Segalanya bersama Giri kini seolah mengarah pada sesuatu yang lebih benar dan pasti. Dalam upayanya untuk mendekatkan diri pada keluarga Davinsha lelaki itu juga kerap bertandang ke rumah kekasihnya yang berada di Matraman. Selain untuk mengenal Davinsha dengan lebih baik, juga untuk mempererat hubungan dengan ibu dari kekasihnya itu.

Giri mencoba untuk membujuk kekasihnya itu agar tinggal kembali bersama ibunya, setelah mendengar keluh- kesah wanita itu tentang betapa ia mengkhawatirkan putrinya yang memilih untuk tinggal di kosan ketimbang menemani ibunya.

"Mama kan sudah sepuh, Vin. Kasihan kalo cuma tinggal berdua ART. Dia pastinya kepingin lebih sering ngobrol sama anaknya." Kata lelaki itu tanpa nada menggurui.

"Aku rencananya juga mau balik ke rumah, Mas. "

Mama Davinsha kini mempunyai hobi baru. Berkebun. Area halaman belakang disulap menjadi tempat koleksi anggrek dan tumbuh- tumbuhan hijau. Selain itu, setiap bulan beliau juga berkunjung ke panti asuhan bersama teman- temannya sesama pensiunan. Hari Sabtu, dia masih senam pagi di kelurahan bersama ibu- ibu kompleks yang berusia sebaya.

Singkatnya, semakin ke sini, hidup Mama semakin penuh arti. Sementara hidup Davinsha seperti berlari. Antara pekerjaan dan kehidupan pribadinya seolah- olah saling mengejar.

Hari Rabu sore itu adalah jadwal Davinsha untuk nongkrong di Mal bareng para tim buyer Ranjana. Mereka, Kalyana, Valyra, Bobby, Rahman, Davinsha, Imelda, Junior, dan masih banyak lagi, memilih  untuk  makan hot pot di Mal.

Tak tanggung- tanggung, mereka minggat sampai ke Living World Alam Sutera. Kayak mau sembunyi sama selingkuhan dari pacar saja. Mereka pergi dengan tiga mobil. Berdesakan cekikikan hahahihi persis seperti anak SMA.

"Kenapa nggak sekalian ke Botani square aja! Nanggung kalo cuma ke Tangsel aja mah!" celoteh Imelda. Kebanyakan bergaul sama anak fashion memang bikin dia jauh semakin nyablak.

"Boleh juga idenya ini anak!" Bobby manggut- manggut. "Kita agendakan kalo gitu!"

Sebelum duduk dengan anteng dan makan, semua orang menyebar untuk window shopping. Seperti biasa, Imelda selalu terobsesi sama sepatu. Valyra dengan lingerie, Kalyana adalah pemuja sabun dan semua perintilan tentang mandi dan spa. Sementara Davinsha tentu saja berburu kuteks.

Kali itu dia sedang dimanjakan sama mbak- mbak dari konter nail art. Si Mbak sedang mendemokan cara membuat karakter Shin- chan di kuku Davinsha ketika suara itu menyapa.

Davinsha sendiri mengernyit heran melihat Ananta yang memasuki konter nail art. "Tadi sempat lihat kamu belok ke sini."

Davinsha sempat kagok, lalu mendadak gagu. Merasa kok pertemuan mereka ini rasanya janggal banget. Kecuali mereka ketemuan di Starbucks atau tempat makan, atau tempat jual furnitur, mengingat Ananta adalah seorang desainer interior yang kerap wara- wiri di toko furnitur untuk mencari barang- barang sesuai dengan pesanan klien.

Ananta bekerjasama dengan seorang arsitek bernama Fajar Himawan Randaru untuk mendirikan biro arsitektur beberapa tahun yang lalu. Namun ia lebih fokus untuk menggarap interior.

"Serius? Aku kira Mas Ananta doyan pakai kuteks juga." Davinsha terang- terangan memperlihatkan sarkasmenya. Hanya saja, rupanya Ananta tidak tersinggung.

Dia  malah tertawa lepas. Memperlihatkan lesung pipi yang dulu pada suatu masa pernah Davinsha kagumi. "Beneran." Jawab pria itu mantap. "Kamu sendirian?"

"Sama teman kantor, sih. Tapi mereka lagi nyebar tuh. Belanja sendiri- sendiri."

"Emang barang di tempat kerjamu masih kurang, sehingga harus berburu di Mal lain juga?"

UndercontrolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang