Davinsha langsung menggeber mobilnya di jalan raya. Ia tidak pulang ke kosannya di Tebet, atau rumah ibunya di Matraman, melainkan langsung ke Palmerah. Tempat sepupunya yang bernama Anye berada.
Untung saja, perempuan itu sedang berada di apartemen. "Untung lo nggak lagi ngeliput atau apa."
"Selamat malam," sindir perempuan yang hanya mengenakan kaus gombrong dengan rambut acak- acakan itu.
"Brondong lo nggak lagi di sini, kan?" tanya Davinsha sambil melenggang masuk.
"Sialan lo!"
Di apartemen berkamar dua itu, televisi sedang menyala, menayangkan film lawas tahun 90an. The Shawshank Redemption.
Anye memang menggandrungi segala sesuatu yang berbau tahun 90an, di mana menurutnya, segala sesuatunya masih sangat orisinal. Tidak ada keluhan yang berbau mental illness. Tidak ada body shaming. Di mana menghina orang mirip pesut Mahakam bukan termasuk dalam bullying.
Usianya memang tiga tahun lebih tua dari Davinsha. Dan lagi, dia adalah seorang janda, yang lagi dikejar- kejar brondong tukang tato yang sebenarnya ganteng banget, tapi ya itu, badannya kayak buku gambar, saking banyaknya tatto yang menutupi permukaan kulitnya.
"Gue ketemu Giri, Nye!" Davinsha langsung mendaratkan bokong di atas sofa. Merebahkan kepalanya pada sandaran sofa.
"Giri? Ini Giri yang lo pernah bobo sama dia?" Anye berseru dari arah dapur.
"Yep!"
"Terus, terus?" Anye kembali ke ruang tengah dengan membawa dua kaleng bir dan sestoples kacang bawang, lalu meletakkannya di meja berkaki rendah di depan sofa yang sudah ada bekas kaleng soda dan Lays rasa rumput laut.
Davinsha menaikkan alis ketika dua kaleng bir mendarat di atas meja. "Minuman kita sekarang di upgrade, nih? Nggak bakalan dimarahin sama Tante Mieke? Atau Mas Abri?"
"Halah!" Anye mengibaskan tangan, sebelum duduk di samping Davinsha. "Gue udah nggak sudi diperlakukan kayak gitu lagi." Ujarnya cuek. "Gue kan bukan anak sekolahan lagi."
"Jadi, nyokap lo nggak dapat kunci apartemen ini?"
"Nggak lah! Emang gue sebego itu?"
Semenjak perceraiannya dengan Alan Susanto, perlakuan Mieke, ibu Anye itu memang lebih protektif mengarah ke sesuatu yang membuat sepupu Davinsha itu stres. Sampai- sampai, Anye harus pindah apartemen dan belajar dari pengalaman masa lalu, ia juga tidak memberikan duplikat kartu akses unitnya pada sang ibu dan juga kakak lelakinya.
"Terus gimana si one and only Bapak Giriandhana Jati ini, Bu Davinsha Lalitavistara? Apa dada lo masih deg- degan? Dia masih berambut ikal? Bermata tajam? Bibirnya tetep seksi? Tatapannya tetap menelanjangi lo?"
Davinsha melotot sebal. Padahal sebenarnya, dia masih terbayang sosok yang tadi sudah dideskripsikan oleh sang sepupu. Dan sejujurnya, kenapa Davinsha sampai nyasar ke sini adalah karena dadanya masih berdentum. Sisa- sisa berhadapan dengan lelaki itu tadi. Rasanya sesak tak karuan sekali karena kembali dipertemukan dengan sosok yang selama ini sangat ingin dia lupakan.
"Apa dulu gue kata?" tiba- tiba suara Anye sudah menyela lamunannya. "Lo tuh waktu itu cuma parno. Coba aja kalo seandainya lo nggak buru- buru lari terbirit- birit ke rumah Tante lo di Surabaya! Pasti udah beranak pinak deh lo sama dia sekarang! " Anye menyikut rusuk Davinsha yang balik melemparkan bekas kaleng soda ke arah sepupunya itu.
"Tapi kok bisa ya, Nye, gue masih punya perasaan itu ke dia? Sumpah deh, waktu gue lihat dia hari ini tuh, rasanya kejadian waktu itu kayak dilempar lagi ke muka gue. Yang ada, gue malu banget. "

KAMU SEDANG MEMBACA
Undercontrol
Chick-LitDavinsha tak bermaksud mengkhianati persahabatannya dengan Mel. Segalanya terjadi begitu saja. Hubunganya dengan Giri bukanlah sesuatu yang ia rencanakan. Bertahun- tahun lamanya Giri mencoba melupakan kejadian di kamar kosnya bersama Davinsha. Lel...