Dua Puluh

28.1K 1.9K 49
                                        

"Kenapa dulu kamu ninggalin saya?" tanya Giri, sementara tangannya sibuk membelai rambut Davinsha yang  tadinya kusut banget itu, kini jadi kembali lurus. Jujur saja, Davinsha merasa nyaman. Jadinya maunya keterusan.

Davinsha sendiri kini menyandarkan kepala ke dada kokoh Giri. Lelaki itu kini duduk di pinggir ranjang pasien , dengan kedua lengan memeluk pinggang dan bahu perempuan itu. Menopang berat tubuhnya dengan mantap.

Davinsha kemudian mendongak. "Kenapa Mas Giri nanyain itu?"

"Karena waktu itu saya nyari kamu. Setengah mati rasanya waktu seminggu kemudian nggak nemuin kamu lagi." Tutur Giri yang tangannya masih sibuk membelai rambut perempuan itu. Sesekali mampir ke wajahnya.

Begitu mencium bibir Davinsha, Giri merasa dirinya seperti seorang musafir di padang pasir Afrika yang berbulan- bulan berjalan tanpa tentu arah, tanpa air, tanpa makanan, lalu menemukan oase.

Pada diri Davinsha lah ia menemukan oase itu. Rasanya tidak pernah puas mereguk bibir ranum milik perempuan itu. Rasa manis bercampur pahit. Kering karena perempuan itu sedang sakit, semuanya berbaur jadi satu di mulut Giri sendiri.

"Tadi itu nggak takut ketularan?" tiba- tiba pertanyaan Davinsha ke luar dari konteks pembicaraan mereka tentang mengapa Davinsha meninggalkan Giri. "Eh, tifus bisa nular nggak sih? Itu disebabkan bakteri kan ya?"

"Saya nggak peduli kalo mau ketularan juga." Giri kembali menunduk untuk mencium rambut Davinsha.

Davinsha yang kaget dengan ciuman tiba- tiba itu,  mengangkat tubuhnya. Melepaskan diri dari belitan lengan- lengan Giri yang sebenarnya nyaman banget itu. Feels like home. Seharusnya, ini yang mereka lakukan sepuluh tahun yang lalu setelah bercinta. Bukannya malah kabur ke Surabaya lalu menyesal.

"Kenapa?" Giri merasa kehilangan.

"Nggak," Davinsha menggeleng. "Mas Giri tadi belum jawab pertanyaan gue. Kenapa Mas Giri ada di sini? Mendadak pula?"

"Apa ciuman tadi nggak cukup buat menjelaskan semuanya?"

Davinsha bengong. "Setiap hari, setiap jam, menit, detik, ada banyak orang yang berciuman!" sanggah Davinsha. "Itu nggak berarti sesuatu yang spesial kan?" tangan Davinsha bergerak - gerak tak jelas. "Hari gini ngakunya sahabatan juga akhirnya ciuman. Ngakunya temen biasa juga ciuman. Giliran baper aja bilangnya itu ciuman dilakuin atas dasar suka sama suka!" suasana berubah panas.

Rahang Giri mengetat kaku. "Jadi, kamu maunya saya jawab apa?"

"Jawab yang jelas,"

"Saya juga mau kamu jawab yang jelas,"

"Oke." Davinsha akhirnya menyetujui. "Kenapa Mas Giri cium saya,"

"Saya kepingin cium kamu." Jawabanya mantap. Tatapannya tajam. Tegas. "Kalo kamu masih ngejar lagi dengan pertanyaan kenapa, saya akan cium kamu sekali lagi!"

Davinsha mendesah lelah. Tapi toh ia tidak menyanggah kata- kata Giri barusan. Perempuan itu malah kembali berbaring. "Yang kita lakuin sepuluh tahun lalu salah, Mas ...."

"Secara moral itu memang salah. Tapi  walau begitu, kamu nggak berhak lari begitu saja dari  saya setelahnya!"

"Gue ngerasa bersalah sama Mel."

"Waktu itu saya dan Mel sudah putus. Kamu yang berasumsi kalo kami masih punya hubungan. Kamu yang tiba-tiba datang ke kosan  dan berniat nyeret saya ke tempat Mel."

"Tapi Mas Giri sekarang masih ada hubungan sama Mel, kan?"

Giri menatapnya intensitas yang membuat perut Davinsha mulas bukan main. Rasanya seperti dipelintir- pelintir. Dipilin- pilin. "Semuanya itu nggak akan kejadian seandainya aja kamu nggak buru- buru kabur."

UndercontrolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang