a romantic couple (1)

240 33 0
                                    

Aku menggelengkan kepala untuk menahan emosi yang bergejolak di dada. Karena benar-benar tidak lucu kalau skenario buruk yang ada di kepalaku terjadi. Tahan, jangan mencekik Bagaskara sekarang. Tentu, aku tidak mau mati gara-gara mobil cowok itu terbalik.

Bagaskara masih tertawa di kursi kemudi, membuatku mati-matian menahan diri untuk nggak mencekiknya saat ini juga.

“HAHAHAHA ... Lo beneran harus liat muka lo tadi. Gemes banget tahu nggak, lucu!”

Aku membiarkan tawa Bagaskara menggema di mobil. Aku tahu cowok itu cuma bercanda, karena nggak mungkin ia tiba-tiba menyatakan perasaan kalau nggak disamber petir terlebih dahulu. Tapi, tadi untuk sejenak, tatapan Bagaskara seperti tatapan di kolam renang waktu itu. Begitu lembut, kosong, penuh cinta, sakit, tapi juga jujur. Makanya, untuk beberapa saat aku terhanyut.

Ternyata memang benar, ada versi lain dari seorang Bagaskara yang tidak aku kenali.

Aku mengabaikan Bagaskara yang masih menggodaku dan mencoba memancing emosiku dengan banyolannya yang menyebalkan itu, tapi aku memutuskan untuk diam dan mengalihkan pandangan ke jendela untuk menikmati pemandangan malam kota Jakarta.

“Hei, beneran marah? Gue cuma bercanda bayikkkkkk,” ujarnya seraya menoel-noel pipiku yang cemberut dengan telunjuknya.

Namun, aku mengabaikan tindakan cowok itu dan memutuskan untuk segera turun dari mobil karena kami sudah sampai tujuan.

Bagas mengikuti gerakanku turun dari mobil. Lalu cowok itu mengikuti langkahku yang berjalan menjauhi cowok itu.

“Lo beneran marah?” tanya Bagas seraya meraih lenganku hingga kini kami berdiri berhadapan. Cowok itu menunduk ke arahku sehingga mata kami bertatapan.

Aku mencoba menyelami mata Bagas yang hitam kecoklatan, tapi tanda tanya besar di kepalaku tidak menemukan jawabnya.

“Gue cuma bercanda. Sorry kalo candaan gue kelewatan,” ujar cowok itu seraya menghela napas panjang. Seolah ia tengah menahan diri mati-matian, seolah ia ingin menghantam sesuatu. Tatapan Bagas terlihat seperti itu. Namun, sekejap kemudian itu semua hilang lagi.

“Heh, Luna! Lo nggak kesambet kan? Sumpah diem gini lo jadi lebih serem!”

Aku menatap Bagaskara dengan bengis, lalu menjambak rambut cowok itu untuk mengekspresikan kekesalan yang sejak tadi aku pendam di mobil. “Iya, saat ini gue lagi kesambet Mbak-Mbak gentanyangan di sini dan sangat bernafsu mengirim lo ke neraka!” ujarku seraya terus menjabak rambut Bagas tak peduli cowok itu sudah protes dan minta ampun.

“Aw ... Aw ... Aw ... Luna, sakit woy!”

“Mampus! Makanya nggak usah nyebelin!”

Sambil menahan sakit, cowok itu kemudian tertawa. “Tapi serius, eskpresi lo tadi lucu banget!”

“Terus aja, Gas! Terusssssss!” seruku seraya menjambak rambut cowok itu super gemas.

“Awwwww....”

Dan kali ini benar-benar tidak ada ampun untuk cowok itu! Tak peduli ia sudah berteriak minta ampun dan kami jadi pusat perhatian orang-orang.

***

“Gila, Lun, hari ini tingkat menyebalkan lo benar-benar kelewatan!” dengkus cowok itu seraya merapikan rambutnya yang bentuknya sudah nggak karuan.

“Idih ngaca! Lagian gue nggak bakal ngulah kalo lo nggak nyebelin duluan!”

Masih dengan emosi yang bercokol di dada masing-masing, kami memasuki pasar malam yang baru saja buka di dekat Jasmine.

Begitu memasuki keramaian pasar malam yang benar-benar super semrawut—tapi wajar saja karena sekarang malam Minggu—Bagas langsung meraih lenganku agar kami tidak tiba-tiba terpencar.

Begitu melewati pintu masuk, akhirnya antrian terpecah. Kerumunan orang yang datang bersamaan pun mulai berpencar untuk mendatangi setiap penjual serta wahana yang mereka inginkan.

Lagu Next Level milik Aespa, lagu Bojo Loro, Susan-Susan Kalo Besar Mau Jadi Apa, dan lagu Taylor Swift I Can Do It With The Broken Heart bercampur jadi satu. Diiringi tawa anak kecil yang naik setiap wahana, dan obrolan orang-orang yang tidak begitu jelas. Di sini bising, tapi hawa bahagia tampak berterbangan di udara.

Kemarin saat melihat seleberan pasar malam ini yang dibagikan Pak RT di Jasmine, aku dan Bagas memang sudah memutuskan untuk datang bersama. Tidak ada alasan khusus. Toh, kami berdua ujung-ujungnya akan datang sendiri, jadi nggak ada salahnya kan kalau datang berdua?

Lalu kami nggak perlu saling ajak satu sama lain, ini begitu natural, seolah kami sudah paham tanpa bicara apa pun.

Hawa bahagia yang ada di tempat ini juga membuat aku berbunga-bunga. Hingga semua kemarahanku entah menguap ke mana, dan akhirnya mulai menikmati pasar malam ini.

“Sebagai permintaan maaf gue,” ujar cowok itu seraya memberikan cotton candy bentuk Squidward plus dengan muka datarnya yang menyebalkan dan minta ditonjok itu.

“Narsis amat sih, sampai beli gambar muka sendiri!”

“Enak aja nyamain gue sama si gurita ijo itu! Udah jelas gue lebih ganteng!”

“Idih najisssssssssss! Lebih ganteng apaan? Yang ada muka lo lebih tonjokable!”

Dan aku segera menghindar sambil tertawa saat cowok itu mengambil ancang-ancang ingin mengacak rambutku. Bukan karena diacak rambut, yang berantakan hati. Percayalah hatiku saat ini sudah berantakan sekali.

august. (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang