a wall between us

208 40 4
                                    

Karena semakin malam hujan malah semakin deras. Akhirnya Mbak Jasmine memaksaku untuk menginap.
“Udah hari ini kamu nginep aja. Lagian besok tanggal merah juga. Anggap aja kalo di sini sama kayak Jasmine.”

Lalu karena aku nggak mau merepotkan siapapun untuk mengantarku pulang, pesan O-jek juga pasti kena cancel karena jarang ada driver yang keluar saat hujan badai begini, aku pun mengiakan ajakan Mbak Jasmine.

Hari ini aku tidur di ruang santai keluarga Hartono yang luas. Mbak Jasmine menggelar kasur yang mirip futon tapi super hangat di lantai, niatnya kami berempat—aku, Mbak Jasmine, Mas Candra, dan Bagas—akan tidur di sini.

“Dulu setiap hari libur aku dan teman-teman suka nginep dan girls night bareng. Udah lama banget nggak ngelakuin hal ini, jadi berasa nostalgia. Oh, ya! Gimana kalo kita maskeran?” ajak Mbak Jasmine dengan antusias.

Kebetulan aku belum ngantuk dan nggak tega juga menolak ajakan gadis itu, hingga akhirnya aku pun mengangguk mengiakan.

***
Saat aku dan Mbak Jasmine sibuk memakai honey mask di wajah, Mas Candra dan Bagas memutuskan untuk lanjut nonton film horror yang baru saja tayang di Netflix. Sebenarnya aku nggak suka dengan film horror, karena akan membuatku mimpi buruk dan takut ke kamar mandi. Namun, aku benar-benar nggak enak untuk mengatakan ketakutanku. Sehingga akhirnya kami berempat pun nonton film horror walau jujur saja aku nggak menikmatinya sama sekali.

Aku dan Mbak Jasmine duduk di tengah, Bagaskara duduk di sampingku, dan Mas Candra duduk di samping Mbak Jasmine.

Film horror pun mulai diputar. Dan aku dapat merasakan bulu kudukku yang meremang hanya dengan mendengar suara musiknya yang seram parah. Aku bisa menahannya di lima belas menit pertama, walau kebanyakan tutup mata, dan menahan diri untuk nggak berteriak saat ada jump scare.

Saat akhirnya wajah Mbak Kunti memenuhi layar—matanya hilang satu, dahinya robek sebelah, mulutnya menceng, dan darah memenuhi muka barulah akhirnya aku menyerah.

Aku berteriak sambil menutupi wajahku. Nggak peduli saat ini aku masih maskeran, dan akhirnya maskerku menempel di kedua tangan dan lengket luar biasa.

“Oke, gue mau jujur. Sebenernya gue takut film horror,” ujarku dengan tubuh gemetaran.

Lalu seseorang mem-pause film, seseorang lagi menyalakan lampu—yang aku tahu adalah Bagaskara karena kini cowok itu nggak ada di sampingku. Dan Mbak Jasmine langsung menenangkan diriku dengan mengelus bahuku lembut.

Bagas meraih lenganku, lalu mengajakku untuk pergi ke rooftop yang ternyata ada gazebo super cozy di sana dengan berbagai camilan dan tumpukan buku berwarna pink yang aku tebak kebanyakan novel romance.

Bagas tertawa ngakak seraya meraih daguku, sehingga kini cowok itu dapat melihat wajahku dengan jelas.

“Tahu nggak, sekarang lo bahkan lebih nakutin dari hantu yang tadi,” ujarnya saat melihat masker yang sudah pasti super berantakan di wajahku.

Aku pun langsung manyun. “Terima kasih komentar nggak bergunanya. Lain kali tolong tutup mulut aja!”

Lalu aku berusaha untuk menyingkirkan tangan Bagas dari daguku karena aku ingin membersihkan honey mask yang sudah nggak berbentuk di mukaku, tapi cowok itu tetap menahan daguku hingga kini kami masih ada di posisi yang sama.

Mata kami saling terkunci satu sama lain. Kami tenggelam di netra satu sama lain. Tertarik semakin ke dalam, ke dalam, hingga jika diteruskan—mungkin kami akan lupa jalan pulang.

Tidak ada debar menggila di dada, badai yang bergelung di perut, atau pipi merah seperti tomat busuk.

Interaksi ini tidak menyebabkan semua itu.

Melainkan aman seperti pulang ke rumah.

Seperti pelukan hangat Ibu dan rasa enak makanan favorit yang dimasak dengan penuh cinta. Plester luka pada pertolongan pertama, dan alprazolam yang diminum saat kepala terlalu berisik jam 4 pagi—padahal sejak malam tidak bisa tidur sama sekali.

Tatapan Bagas rasanya seperti itu, oleh karena itu aku harap Bagas juga merasakan hal yang sama saat menatap kedua mataku.

“Biar gue aja yang bersihin.”

Tanpa protes aku pun membiarkan Bagas untuk membersihkan masker yang bentuknya udah nggak jelas di wajahku. Ia mengelap wajahku dengan begitu hati-hati, seolah satu gerakan kasar akan membuat aku terluka. Dan cowok itu nggak mau melukaiku.

Sial, dari jarak sedekat ini kenapa Bagaskara tampan sekali sih!

Aku berdeham untuk mencegah wajahku yang hendak tersenyum seperti orang idiot.

Lalu tanganku meraih sebuah buku berjudul Tha Spanish Love Deception karya Elena Armas.

“Bentar Luna, gue belum selesai,” protes Bagas seraya kembali mengarahkan wajahku kepada cowok itu. Kali ini ia tengah membersihkan dahiku, karena lupa pakai bandana pasti ada masker yang nempel ke rambut.

“Ini ceritanya tentang apa?”

Fake dating,” jawab cowok itu masih fokus membersihkan masker di wajahku.

Meh klise,” cibirku. “Tapi gue kadang aneh sama lo, Gas. Lo selalu suka baca novel romance, penggemar lagu romance, dan kebanyakan nonton film romance. Tapi kelakuan lo nggak ada romantisnya.”

“Gue baca novel buat ngisi waktu luang. Bukan buat tutorial gimana jadi cowok romantis.”

Lalu cowok itu mengapit kedua pipiku dengan telapak tangannya yang lebar. “Nah udah. Akhirnya muka lo yang tadinya nggak jelas, jadi jelas lagi,” ujarnya sambil terkekeh.

“Tapi kalo gue boleh jujur, sebenernya lo selalu romantis, Gas. Cuma, kenapa sih lo nggak biarin gue suka sama lo?”

august. (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang