better than sleeping pills

204 34 1
                                    

Hah ... Sialan amat!

Sekarang baru payung, besok apa? Coklat, permen, sampai surat cintaaaaa? Idih najissssss! Emangnya aku tempat penitipan barang!

Pokoknya aku harus segera protes pada Bagaskara, karena aku sungguh ogah jadi kurir gratis tanpa dibayar gini!

Lagian, dia yang pedekate kenapa harus nyusahin orang lain, sih! Dan apa-apaan? Ngapain juga Bagaskara deketin adek Rose yang polos itu? Aku yakin ini sih ada udang dibalik bakwan!

Dasar buaya darat!

Setelah mengembalikan helm pada tukang O-jek, aku pun segera berjalan ke dalam halaman rumah berlantai dua yang di sampingnya ditanami berbagai bunga dengan berbagai warna yang sangat indah. Aroma khas bunga yang begitu harum langsung menusuk indra penciumanku, membuat hatiku yang tadi dipenuhi perasaan dongkol kini jadi lebih nyaman.

Aku memencet bel yang ada di samping pintu sebanyak dua kali—karena di percobaan pertama tidak ada yang menyahut. Lalu senyumanku tanpa sadar langsung terbit saat aku melihat Bagas berdiri di depanku. Cowok itu tampak berantakan, tapi aku nggak bisa bohong kalo ia tetap saja tampan. Bagaskara—si pangeran neraka ini memang punya wajah yang menawan, walau kadang—sumpah ini sering banget—kelakuan minusnya super keterlaluan!

“Hi,” sapaku seraya tersenyum lebar.

“Hi,” balas cowok itu sambil tersenyum dengan bibir pucatnya.

By the way, Gas, you look like shit!” ujarku yang membuat Bagas langsung protes dan membuatku ngakak parah.

***

“Lo udah makan?” tanyaku seraya masuk ke kamar Bagaskara. Cowok itu bilang kalau aroma rumahnya bikin ia mual, makanya ia menyuruhku untuk masuk ke kamar.

Ah, ya ... Sebelum terjadi salah paham yang tentunya tidak diinginkan di sini, mari aku jelaskan. Jadi, aku datang ke sini bukan karena keinginanku, tapi karena Bu Boss—alias Mbak Jasmine—yang memintaku untuk menjenguk Bagas setelah pulang sekolah.

Karena si kampret itu bisa nyepam meme nggak jelas di Line-ku tapi malah nggak membalas pesan dari kakaknya. Membuat Mbak Jasmine khawatir luar biasa, sehingga menyuruhku untuk datang ke rumahnya sepulang sekolah.

Mbak Jasmine sudah banyak membantuku, bahkan selalu ada di sisiku saat aku sakit. Makanya, aku nggak mungkin menolak permintaan bosku itu.

Aroma coklat langsung memenuhi hidungku saat aku duduk di samping ranjang Bagas dan memaksa cowok itu berbaring di kasur. Wajahnya benar-benar sangat pucat dan tatapan matanya sayu. Saat aku mengecek suhu badannya, keningnya masih sangat panas.

“Biar gue tebak. Lo nggak makan, nggak minum obat, dan nggak tidur. Lagian lo ini aneh banget deh, Gas! Kalo sakit tuh tidur bukannya spam meme nggak jelas ke Line orang lain!”

“Gue udah makan dan udah minum obat. Tapi emang nggak bisa tidur,” jawabnya lemas seraya mengenyitkan dahi, mungkin karena tenggorokannya sakit saat ia bicara.”

Aku menghela napas panjang, lalu meraih semangkuk bubur ayam tanpa kecap yang tadi aku beli—atas perintah Mbak Jasmine—sepulang sekolah.

“Nih, makan! Terus minum obat!” perintahku sambil menggerutu dan ngomel. Sumpah saat ini aku benar-benar mirip dengan ibu-ibu yang suka ngomel saat anaknya sakit. Lalu menyalahkan es dan juga ponsel. Aku tahu ini konyol, tapi aku juga nggak bisa berhenti.

Aneh sekali bukan?

Walau dengan ogah-ogahan karena kalau lagi sakit nafsu makan memang berkurang, akhirnya Bagaskara berhasil menghabiskan setengah mangkuk bubur sebelum berhenti karena mual.

Setelah minum obat aku memaksa cowok itu tidur. Menarik selimut sampai lehernya, dan mengompres keningnya agar demamnya turun.

“Abis ini lo pulang?” tanya cowok itu seraya meraih tanganku yang baru saja mengganti kompresan di keningnya.

“Habis ini gue bakal kirim laporan ke Mbak Jasmine kalo gue udah melakukan tugas dengan baik, dan yups gue bakal pulang.”

“Oke,” jawab cowok itu seraya menutup matanya yang sayu dengan lengannya. Napas cowok itu tampak naik turun beraturan, dan sepertinya ia sudah mulai tertidur. Dan seharusnya aku segera angkat kaki dan pulang ke rumah sebelum hujan turun karena sejak tadi awan hitam terus berkencan dengan langit.

Namun, aku sama sekali nggak mau pulang. Aku nggak bisa meninggalkan Bagaskara sendirian di rumah saat keadaannya belum membaik. Bagaimana kalau ia tiba-tiba pingsan?

Hah, mau menolak seperti apapun. Ternyata aku memang nggak bisa berhenti peduli.

“Tapi, karena gue udah di sini. Sekalian deh gue nyicil kerjain tugas PKN kita. Lo beneran udah cari materinya kan?”

“Laptop gue di meja belajar,” sahut Bagaskara masih dengan posisi yang sama.

Lalu aku berjalan ke meja belajar Bagas yang ada di pojok kanan—berlawanan dengan ranjang. Aku mengambil laptop cowok itu dan membawanya ke sofa santai yang ada di kamar cowok itu. Kemudian aku mulai mengerjakan tugas berdasarkan materi yang sudah Bagas cari.

Sesekali aku juga melirik ke ranjang, dan aku tahu kalau Bagaskara kesulitan tidur. Karena berapa kalipun cowok itu mengubah posisi, ia tetap sulit masuk ke alam mimpi. Apapun yang mengganggu pikiran Bagas, aku tahu itu pasti hal yang berat.

Lalu ia bangkit dari ranjang dan duduk di sampingku. Ia membuka buku pake PKN yang ada di meja, dan menggarisi bagian yang menurutnya penting.

“Heh! Kan udah gue suruh istirahat!”

“Toh gue nggak bakal bisa tidur,” ujar cowok itu yang membuat kepalaku semakin dipenuhi ribuan tanya, tapi aku memutuskan menelan kembali semua tanya itu.

Akhirnya aku membiarkan Bagas untuk duduk di sampingku di sofa. Ia membaca buku dan aku mengetik di laptop. Hingga tak ada 5 menit kemudian, aku merasakan bahuku terasa berat. Ternyata Bagas sudah tertidur di bahuku. Wajah cowok itu tampak sangat lelah, hingga aku nggak tega untuk membangunkannya.

“Katanya tadi nggak bakal bisa tidur.”

august. (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang