i like me better when i'm with you (End)

264 26 3
                                    

Sudah dua minggu ini Bagaskara tidak masuk sekolah karena harus melakukan perawatan. Ia juga tidak jadi ikut lomba renang atau mengikuti berbagai kegiatan sekolah yang biasanya ia ikuti tanpa jeda. Tapi baguslah, karena Bagaskara memang butuh istirahat. Ia sudah berusaha terlalu keras. He deserves it.

Walau kami tidak bertemu selama dua minggu, tapi ia tetap menghubungiku. Ia menceritakan semua kegiatannya selama di rumah sakit, semua terapi yang ia lakukan, setiap sesi konsultasi, dan obat apa saja yang harus ia minum setiap harinya.

Tentu saja awalnya pasti berat, tapi lama-lama Bagaskara terbiasa. Sehingga cowok itu sesekali mengeluh tapi bisa dipahami. Dan aku bersyukur Bagaskara lebih terbuka, ia tidak lagi memendam semua perasaannya sendirian.

Seperti biasa sepulang sekolah aku langsung pergi ke rumah Bagaskara. Dan terlihat Om Subandi tengah duduk di teras tampak habis selesai mengurus taman—karena taman yang ada di depan rumah keluarga Hartono tanahnya tampak masih basah, dan terlihat baru selesai di pupuk.

Aku pun langsung menyalimi Om Subandi dan masuk ke rumah untuk makan siang bersama. Selama Bagaskara di rumah sakit, aku dan ayahnya memang selalu makan siang bersama. Kadang berempat dengan Mas Candra atau Mbak Jasmine juga, seringnya berdua seperti hari ini.

Aku mengeluarkan puding susu sebagai desert, dan berbagai makanan sudah tersedia di meja makan.

“Gimana sekolah kamu?” tanya pria paruh baya itu untuk memecahkan keheningan.

“Semua berjalan lancar. Walau PR aku banyak banget, tapi untungnya besok bakal free karena aku kepilih jadi tim hore sekolah buat dukung tim basket di PON.”

“Sayang ya Bagas nggak ikut lomba renang tahun ini. Padahal kalau ikut dia pasti menang.”

“Bagas udah terlalu banyak ngasih medali dan piala ke sekolah. Prestasinya beuh nggak usah ditanyakan, jadi emang lebih baik dia istirahat sih sekarang.”

“Sampai akhir kamu bakal debat saya kan?”

“Maaf kalau aku nggak sopan Om. Maaf kalau aku emang sok tau padahal nggak pernah tau beban jadi orang tua. Tapi, kalo aku jadi Om, aku bakal bangga banget punya anak kayak Bagaskara. Bagas itu orang yang selalu berusaha dua kali lebih keras daripada orang lain, anak paling ngambis yang susah dikalahin, dan suka hal-hal baru. Dia  tipe yang bakal bangun jam 3 pagi buat belajar tanpa disuruh, paling semangat kalau ikut les biar pengetahuannya nambah, demen banget baca buku walau kebanyakan novel romance, nggak suka kekalahan dan bakal berusaha memperbaiki apa yang salah. Anak lain mah, nilai mentok KKM aja udah syukur. Naik kelas udah syukur. Boro-boro ikut ekskul lebih dari satu biar bisa wakilin sekolah di berbagai lomba, yang penting buat formalitas naik kelas aja. Bagaskara itu tipe yang bakal selalu bikin Om bangga, walau Om nggak nuntut apa-apa. Ya, terus, emangnya kenapa kalau Bagas prestasinya nggak kayak Mas Candra? He's enough, malah yang Bagas lakuin itu udah lebih dari cukup.”

“Denger itu, Gas? Kalau Papa punya anak cewek kayak Luna, nggak bakalan Papa relain punya cowok kayak kamu,” ujar Om Subandi seraya tersenyum pada seseorang di belakangku.

Yang aku tahu siapa itu, karena aroma tubuhnya yang khas langsung menusuk indra penciumanku. Coklat. Manis coklat.

Aku membalik tubuhku dan tersenyum pada Bagaskara.

Hi.”

“Hi.”

“Welcome home.”

***

Setelah selesai makan, aku dan Bagaskara pergi ke rooftop dan tiduran santai di gazebo. Untungnya hari ini tidak terlalu panas, jadi mata kami tidak terlalu silau saat melihat ke arah langit.

How are you, babe?”

“Better. And I like me better when I'm with you.” Lalu Bagaskara mengelus pipiku lembut dan memainkan lengsung pipiku yang ada di pipi kiri. “I miss you, bayikkk! Kangen ribut, kangen diocehin, kangen protesan-protesan kamu, pokoknya aku kangen semuanya.”

“I miss you too, Gas. Dan aku mau protes, kenapa sih pulang nggak ngasih kabar? Kalau tau kamu pulang sekarang aku jemput kamu.”

“Biar surprise dong. Dan aku nggak nyangka kamu beneran gantiin aku nemenin Papa makan siang.”

Aku tertawa kecil. “Papa kamu mah mukanya aja galak. Tapi aslinya kesepian.”

I know.”

Aku mengelus rambut pacarku itu. “Jadi, itu alasan kamu selalu makan siang atau malam di rumah walau ujung-ujungnya dibanding-bandingin?”

“Setelah kepergian Mama kita semua hancur, begitu juga Papa. Makanya ini adalah satu-satunya cara buat aku menghibur Papa.”

“Padahal sendirinya juga butuh hiburan kan?”

“Tapi aku punya kamu.”

Aku menggenggam tangan Bagaskara. “Iya, kamu punya aku, makanya jangan pernah ngerasa sendirian okay, Sayang?”

“I love you.”

“I love you too.”

Aku tahu perjalanan kami masih panjang. Proses Bagas untuk sembuh juga masih sangat panjang, tapi semua akan lebih baik. Aku juga nggak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi masa depan biarlah menjadi misteri. Aku dan Bagaskara hanya ingin menikmati masa ini dulu. Masa-masa putih abu-abu, yang tidak akan terulang kedua kalinya.

TAMAT.

(GUYSSSSS, august cuma bakal tamat di sini, ya! Terima kasih sudah membaca august sampai sini! Dan tentu aja sebenernya ini belum tamat-tamat banget. Tapi bakal ada 3 tambahan chapter yang udah Sa publish di Karyakarsa. Yang mau baca chapter lanjutannya silahkan ke sana, ya!)

Sa,
Xoxo.

august. (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang