let me tell you the truth

289 30 0
                                    

Sekarang sudah pukul tiga pagi. Tapi aku dan Bagaskara masih terjaga untuk berbagi cerita dan menggenggam tangan satu sama lain.

"Gue udah baca buku romance yang lo rekomendasiin. Favorit gue The Love Hypothesis punya Ali Hazelwood. Buku lain jangan tanya, soalnya ngabisin senovel aja gue bisa 2 bulan."

"Gue punya bukunya Ali yang lain. Jadi, kalo lo mau pinjem, silahkan mampir ke rumah."

"Oh, dengan senang hati dong!"

Bagaskara tersenyum ke arahku, dan aku balas tersenyum ke arah cowok itu. Kali ini kami hanya saling bertatapan, berbicara tanpa suara tapi semua perasaan itu menembus sukma. Aroma coklat dan obat-obatan menyelimuti kami berdua, untuk waktu yang amat sangat lama—aku yakin aroma ini akan terus mengakar di kepalaku.

Aku mengecup punggung tangan Bagaskara. "Gue selalu suka bau lo, Gas. Coklat."

"This smell belong to my Mom. Aroma ini favorit Mama gue."

"Nambah satu, favorit gue juga."

Bagaskara menatap aku lama, lalu ia berkata, "Lun, let me tell you the truth. Sebenarnya pas malam pertama kali kita ketemu—"

"Oh, saat lo liat gue dari atas ke bawah terus malingin muka?"

"Masih dendam?"

"Bakal gue ungkit seumur hidup!"

Bagaskara tertawa kecil. Tatapan sendu dan kesedihan yang tadinya ada di mata cowok itu sudah minggat entah ke mana. Tergantikan oleh binar bahagia yang tampak sedikit jahil. Aku suka Bagaskara versi ini, tapi aku juga suka Bagaskara yang apa adanya. Saat ia mengakui kalau ia terluka, atau saat ia tidak baik-baik saja.

"Janji, gue nggak bakal protes walau bakal lo ungkit seumur hidup."

Lalu tatapan cowok itu kembali serius. "Malam itu, sepulang dari konser ... gue niat buat bunuh diri."

Aku nggak tahu harus berkata apa dan aku tahu Bagaskara tidak butuh hiburan apa-apa, makanya aku cuma menggenggam tangan cowok itu erat untuk memberitahu jika aku di sini. Jika aku tidak akan ke mana-mana.

"Tapi, hari itu gue malah liat mata lo yang lebih indah dari bulan malam itu. Mata itu bikin gue jatuh cinta untuk pertama kalinya. Senyum lo bikin dada gue berdebar kencang, dan malamnya gue malah nggak bisa tidur karena nggak sabar buat ketemu lo saat MOS, atau pedekate sama lo di sekolah. Gue bakal minta nomor lo, ngajak lo nge-date, terus bikin lo jatuh cinta juga sama gue, hingga akhirnya gue bakal nembak lo dan jadiin lo pacar pertama gue.

"Dan saat gue tau lo juga punya perasaan yang sama kayak gue, gue benar-benar bahagia. Tapi gue terlalu pengecut buat nembak lo atau bilang gue sayang sama lo, karena look at me ... Lun. I'm broken and too damage—until I don't know how to fixing myself. Gue berantakan, gue hancur, gue nggak pantas buat lo. Tapi, brengseknya gue nggak bisa liat lo sama orang lain."

"Gas, you're not broken or damaged, you're perfect. I see you, Bagaskara. Dan gue harap lo bisa liat diri lo lewat kacamata gue saat ini. Biar lo tau betapa mengagumkannya, memesonanya, dan betapa sempurnanya lo di mata gue."

"No, you're perfect, Lun."

"We're perfect, Gas. And maybe we also perfect to each other. Wanna try?" tanyaku seraya mengedipkan satu mata menggoda.

"I know you deserve better, but I promise I'll be better. Makanya, maaf kalau harus bikin lo nunggu sebentar. Jangan pacaran sama Julian."

Dan aku langsung tertawa ngakak saat mendengar ucapan Bagaskara. "Cuma ada satu orang yang pengen gue pacarin. Dia suka berenang, ngambisnya amit-amit, nyebelin tapi bikin sayang, isi playlist-nya sampah, aromanya selalu coklat, nggak pinter gambar, cemburuan, dan inisialnya Bagaskara Hartono."

Bagaskara tersenyum lebar. "That's me."

"Yes, that's you."

august. (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang