a crazy plan

190 36 1
                                    

Karena semua booth cafe di bazar penuh, akhirnya kami bertiga—aku, Bagakara, dan Julian—memutuskan untuk hangout di mall terdekat.

Lalu kami bertiga bersantai di kedai es krim bernama Olaf. Sudah jelas sekali kalau pemilik cafe memang terinspirasi dari film Frozen, karena dekorasi di dalamnya pun kebanyakan gambar Queen Elsa dan Princess Anna yang digambar dengan sangatlah ciamik. Sehingga menciptakan suasana cafe yang kekinian dan juga instagramable. Makanya tak heran kalau pelanggan di sini juga dari berbagai usia. Mulai dari anak-anak sampai muda-mudi yang hanya sekedar hangout, belajar, atau para paruh baya yang melakukan rapat informal.

Untungnya kami masih kebagian tempat duduk, walau harus dipojok dan sangatlah mepet tembok. Aku duduk berdampingan dengan Bagaskara, sedangkan Julian duduk di hadapan kami.

Aku memesan es krim rasa tiramisu, Bagaskara memesan rasa green tea karena walau ia beraroma coklat tapi sebenarnya cowok itu nggak suka-suka amat dengam coklat. Sedangkan Julian memesan mix tiga rasa yang super basic—coklat, vanilla, stroberi.

“Jadi, J, lo juga tipe kutu buku yang suka ke Perpusnas dan bazar?” tanyaku untuk memecah keheningan yang rasanya sangat tidak enak. Terutama aura Bagaskara yang gelap, membuat meja kami begitu suram.

Nope, gue biasanya cuma baca komik aja. Tapi temen gue ada yang jadi relawan buat booth SMA Tiga, dan pas liat kalian foto bareng, gue langsung ke sini. Toh, dari kemaren gue emang udah janji juga sih sama dia buat datang.”

“Ah, lagi-lagi kebetulan, ya?” Karena memang lucu sekali, tiga kali aku bertemu dengan Julian dan semuanya adalah sebuah kebetulan.

Honestly, Lun, kali ini nggak benar-benar kebetulan. Gue datang karena lo juga dateng,” ujarnya seraya mengedipkan satu mata menggoda.

“Cih, dasar buaya!”

“Diem aja ya, yang kata Clara 'anjing'!”

Lalu mereka saling adu tatapan tajam dan hal itu tentu membuat aku menghela napas panjang.

Haish, dasar! Memangnya mereka bocah!

Please, deh, kalian saling panggil nama yang bener dong! Gas, kenalin ini Julian dia sepupunya Clara. Dan, J, ini Bagas dia—temen gue.”

“Kita bukan teman,” sahut Bagaskara sebal.

Aku pun langsung memutar bola mata malas. “Iya, iya! Kita bukan teman! Gue sama lo adalah dua orang yang berpotensi masuk ke kamar satu sama lain pas tengah malam, lalu saling cekik sampai mati!”

“Lo tau bukan itu maksud gue.”

“Nggak! Gue nggak tau tuh!”

Lalu aku mengabaikan Bagas yang masih cemberut dan sudah pasti ingin protes tentang banyak hal. Aku memilih mengobrol random dengan Julian. Membuat rencana untuk renang bareng di Century dan belajar bareng di rumah Clara.

Lagu Let It Go versi Idina Menzel menggema di seluruh cafe, membuat kami akhirnya juga membalas film Frozen tentang kelucuan Olaf dan obrolan random tentang apa yang terjadi jika salju turun di Jakarta.

“Tapi serius sih gue paham kenapa Indonesia nggak dikasih salju. Lo tahu kan wedhus gembel alias domba yang ada di Indonesia beneran gembel semua? Jadi mau dijadiin wol juga mana bisa,” canda Julian yang membuatku langsung ngakak parah. Jokes cowok itu memang nyambung denganku, makanya obrolan dan candaan 'garing' kami pun sefrekuensi.

“Eh, iya sih bener! Dan kebayang sih nyelenehnya warga +62, bisa-bisa saljunya dikasih sirop lalu dijual jadi es doger!”

“Hahahaha bener-bener. Asli sih gue bisa bayangin!”

Aku dan Julian masih bercanda bersama, dan Bagaskara masih diam seribu bahasa dengan muka yang terlihat bete setengah mati. Dan aku menahan tawa mati-matian saat melihat ekpresi masam Bagas, dan sebuah ide super gila melintas di kepalaku.

Lalu aku dan Julian membicarakan pertemukan pertama kami di Perpusnas. Cowok itu menceritakan tentang kesehariannya di Jakarta dan kalau ia sudah mulai betah untuk tinggal di sini. Aku mendengarkan dengan seksama, lalu berbagi tips gimana bisa survive sebagai anak rantau.

Setelah menghabiskan satu gelas es krim, Julian izin ke kamar mandi. Meninggalkan aku dan Bagaskara yang sejak tadi diam seperti patung—seperti hiasan tidak penting yang tak kasat mata. Dan aku tahu, kalau cowok itu pasti saat ini ingin mengakhiri pertemuan dan segera pulang.

“Gue baru tahu kalo lo ternyata tipe yang gampang kenalan sama stranger di jalan,” ujar Bagas dingin.

“Gue ketemu Julian di Perpusnas dan mungkin karena lo nggak tahu banyak tentang gue,” jawabku kelewatvsantai seraya memasukkan sesendok es krim ke mulut.

“Gue khawatir, Luna. Gimana kalo ternyata Julian orang jahat? Gimana kalo dia bukan ‘kebetulan’ sepupunya Clara? Dan gimana kalo Julian ternyata fuckboy yang deketin lo cuma buat keuntungan pribadi? Dan kenapa lo nggak cerita soal ini sama gue?”

Kali ini aku menatap cowok itu dengan tersenyum manis. “Nah, kenapa gue harus ceritain soal ini ke lo? Kita kan 'teman' aja bukan,” sindirku yang sontak membuat Bagas nggak bisa berkata-kata.

Nahkan, skakmat. Makan tuh cemburu sendirian! Lagian yang nggak mau pacaran kan lo, Gas.

Aku benar-benar puas, lalu tertawa setan dalam hati!

august. (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang