broken

210 27 0
                                    

Mungkin karena fisikku lelah luar biasa dan pikiranku tengah kusut tak karuan, jadinya sepulang sekolah aku langsung tidur tanpa sempat mengganti seragam.

Dasiku masih menggantung di leher, aku masih memakai rompi sekolahku yang kini kusut, dan kaus kaki juga masih mengurung kedua kakiku.

Aku menguap lebar, meminum segelas air yang ada di meja nakas karena tenggorokanku terasa kering dan sakit, lalu kembali berbaring setelah melepaskan rompi dan juga dasi yang sejak tadi mencekik leher.

Langit sudah berganti baju menjadi warna hitam, menandakan jika sekarang hari sudah malam dan karena sekarang sudah pukul 7 malam—berarti aku tertidur selama kurang lebih 4 jam.

Aku membaca pesan dari Ayah dan mengiyakan ajakannya untuk bertemu. Lalu selama mandi aku memikirkan apa yang ingin aku katakan saat bertemu Ayah nanti, mungkin kali ini aku harus jujur. Agar luka di hatiku tidak lagi-lagi basah dan mengaga.

Di saat perasaanku gundah begini, biasanya aku akan menghubungi Bagaskara. Tapi sampai saat ini ia tidak membalas pesanku atau terlihat tanda-tanda jika ia online. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk offline juga dan memutar lagu random dari playlist-ku dengan Bagaskara.

Sekarang hampir tengah malam, tapi karena tadi siang aku sudah banyak tidur jadinya sekarang aku nggak bisa tidur sama sekali.

Lalu aku memutuskan untuk meneruskan tugas melukis dan menyempurnakan lukisanku.

Saat aku hendak menambah cat minyakku yang kurang, tiba-tiba seseorang mengetuk pintuku. Membuat aku segera berjalan ke pintu dan mataku langsung berkaca-kaca saat aku melihat Bagaskara berdiri di depanku dengan tubuh menggigil dan rambutnya tampak basah.

“Gas?”

Bagas menjatuhkan kepalanya di bahuku. “Lo bilang kalo gue boleh lari ke lo setiap gue mau ngelukain diri kan? Lo bilang gue bisa jadiin lo sebagai safe place gue, kan?”

Aku memeluk Bagaskara erat, dan membiarkan cat minyak merah yang aku bawa jatuh ke lantai hingga mengotori kakiku dan baju tidurku.

***

Aku berdiri sambil memeluk tubuhku sendiri di depan ruangan bertuliskan poli jiwa. Tanganku yang penuh cat belum aku cuci, begitu juga dengan piyamaku yang penuh dengan tumpahan cat minyak. Air mata tak berhenti mengalir dan dadaku dipenuhi oleh rasa khawatir.

Mas Candra dan Mbak Jasmine keluar dari ruang rawat Bagaskara, lalu Mbak Jasmine langsung memelukku dan tangisku semakin kencang saat di pelukan wanita itu.

Setelah itu Mbak Jasmine menemaniku ke kamar mandi untuk berganti baju yang dibawakan oleh sopir keluarga Hartono.

Mbak Jasmine menggenggam tanganku erat. “Makasih ya, Luna, karena langsung hubungin aku tadi. Nggak usah khawatir, Bagaskara bakal baik-baik aja. Selama Mbak hidup dengan Bagas, aku nggak pernah liat mata Bagas seberbinar saat dia natap atau ceritain kamu. Makanya, Mbak, seneng karena saat ia relaps, dia datengin kamu.”

Laku Mbak Jasmine membuka pesan yang masuk ke ponselnya dan mengajakku ke ruang rawat Bagaskara karena saat ini ia sudah lebih tenang.

Aku mendekati ranjang Bagas dan tersenyum pada cowok itu. “Hi.”

“Hi.”

You look like shit—tapi nggak bisa boong kalo tetep aja enak dipandang!”

“Bilang aja gue ganteng!”

“Najis!”

Lalu Bagaskara tertawa dan senyuman di bibirnya yang pucat semakin lebar.

“Mau tau isi hati gue nggak?”

“Apa?”

“Haduh, goblok banget si Bagas. Masa pengen nembak gebetannya di poli jiwa. Jadi, kayaknya tunggu besok, deh.”

Good, kalo gue harus nunggu besok. Maka, jangan lupa bawa bunga, coklat, es krim, dan tentunya sambil nyanyi lagu romantis, oke?”

Deal. Tapi kalo soal nyanyi lebih baik di-skip, deh.”

“Akhirnya sadar diri suaranya jelek!”

“Heh sialan! By the way, do you want to stay?”

“Do you want me to stay?”

“Yes, I do.”

“Then, I'll stay.”

Lalu kami berbicara semalaman. Kami saling membuka topeng dan senjata. Tanpa ada lagi rahasia, hanya ada luka yang ingin kami sembuhkan. Agar kami bisa mengakui kalau sedang jatuh cinta dengan percaya diri tanpa takut apa-apa lagi.

august. (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang