family

199 32 1
                                    

Aku menguap lebar, lalu bengong sebentar karena saat ini aku tidak bangun di kamarku sendiri. Lalu aku segera bangkit dari tiduranku setelah sadar kalau saat ini aku ada di kamar seorang Bagaskara. Bahkan, sampai tidur di ranjangnya!

Shit, shit, shit! Pasti tadi gue ketiduran!

Aku menghela napas lega karena aku masih memakai baju sekolahku dengan lengkap. Rompi dan dasi masih membungkus tubuhku, kaos kaki juga masih terpasang dengan sempurna di kedua kakiku. Yang tandanya tidak ada kejadian aneh-aneh yang bakal membuat aku menyesalinya sampai mati.

Bagaskara tidak ada di kamarnya. Mungkin ia sedang ada di lantai bawah. Suara hujan disertai angin terdengar begitu berisik, bahkan petir juga sesekali saling bersahutan dengan ganasnya. Langit sudah berubah warna jadi hitam, menandakan sekarang sudah malam.

Sial, berapa lama sih gue tertidur. Dan bisa-bisanya gue ketiduran!

Aku segera turun dan berdiri tegap saat mendengar suara langkah kaki yang mendekat ke pintu. Dan senyuman Mbak Jasmine dengan lesung pipi kirinya yang menawan langsung terlihat begitu benda berbahan kayu itu terbuka.

Hi, Luna!”

Hi, Mbak Jasmine! Sorry, aku malah ketiduran di sini,” ringisku tak enak.

Mbak Jasmine tertawa kecil. “Halah, kamu kayak sama siapa aja. Harusnya Mbak yang nggak enak karena udah ngerepotin. Makasih ya udah ngerawat Bagas hari ini.”

“Sama-sama, Mbak. Nggak ngerepotin sama sekali, kok. Hehe.”

“Tadi Mbak ke sini mau bangunin kamu. Tapi untung deh kamu udah bangun duluan. Nih, biar nyaman ganti pakai baju aku, ya? Terus kita turun, sekalian dinner bareng.”

Aku mengangguk setuju lalu meraih dress casual yang diberikan Mbak Jasmine. Dan setelah berganti pakaian, kami berdua pun segera turun ke ruang makan yang ada persis di samping dapur itu.

Di meja makan sudah ada tiga makhluk berkromosom XY yang sudah menempati 3 kursi pertama. Mbak Jasmine memilih duduk di samping si sulung dari keluarga Hartono, sedangkan aku memilih duduk di samping Bagaskara yang wajahnya sudah lebih segar. Memang masih agak pucat, tapi sudah lebih cerah. Setelah minum obat serta istirahat, sepertinya energi cowok itu sudah kembali..

“Kamu yang namanya Luna?” tanya Subandi Hartono—ayah Bagas—seraya membenarkan kacamatanya dan menatap lurus ke arahku. Tatapan pria paruh baya itu begitu tegas, sangat bertolak belakang dengan mata Bagaskara yang biasanya penuh kerling jahil. Namun, warna mata mereka sama, sehingga aku nggak merasa terintimidasi sama sekali.

Aku pun berdiri dari tempat dudukku dan menyalimi pria itu. Dan wajahnya yang tadi begitu tegas, kini sedikit melembut.

“Iya, Om. Kenalin saya Luna. Teman sekolahnya Bagas, dan karyawannya Mbak Jasmine. Terima kasih karena udah diizinin makan malam di sini,” ujarku memperkenalkan diri. Setelah mendapat anggukan dari pria itu, aku pun kembali ke tempat dudukku.

Lalu kami makan malam sambil sesekali mengobrol dan tanya jawab soal kehidupan pribadi masing-masing. Tak disangka, meja makan ini begitu hangat. Penuh dengan jokes garing Mbak Jasmine, dan candaan kaku Mas Candra. Bagas juga sesekali menimpali sambil tertawa. Om Subandi juga kadang menimpali setiap candaan dengan luwes walau kadang kaku dan bikin suasana jadi awkward luar biasa.

Ah, jadi begini rasanya makan malam bareng keluarga.

“Gimana Bagas di sekolah?” tanya Om Subandi saat kami tengah memakan dessert berupa puding susu home made buatan Mas Candra. Nggak disangka, ternyata kakak Bagas itu begitu berbakat di dapur. Karena puding buatan pria itu benar-benar enak.

Pain in the ass, of course!

Tapi aku nggak mungkin menyuarakan isi hatiku, hingga aku memutuskan untuk menjawabnya dengan jawaban template yang aku yakin bakal jadi pilihan semua orang kalau ditanya oleh keluarga teman.

“Dia teman yang baik.”

Huek! Baiknya 1%, jahanamnya 99%!

Mas Candra langsung merespons dengan anggukan, sedangkan Bagas terlihat tengah mati-matian menahan tawanya. Membuatku memberikan side eyes mematikan pada cowok itu. Lalu menendang kakinya, sehingga ekspresinya berubah menahan sakit.

“Sekarang sekolahan enak, ya? Fasilitasnya lengkap. Dulu, waktu saya sekolah kalo berenang atau ada praktek olahraga harus nyari tempat dulu,” ujar Mas Candra.

“Emang sebuah misteri sih, Mas! Sekolahan makin cakep kalo kita udah lulus!” sahut Mbak Jasmine yang langsung diangguki setuju oleh kakaknya itu.

“Oh, emangnya Mas Candra dulu sekolah di SMA Lima juga?” tanyaku kepo.

“Iya, Candra juga alumni SMA Lima. Dulu dia yang selalu ranking satu paralel,” jawab Om Subandi dengan bangganya. “Sayang, Bagas nggak bisa mengikuti jejak kakaknya,” lanjutnya dengan datar. Tapi nada merendahkan terdengar begitu kentara.

Setelah ini suasana meja makan jadi tidak enak. Semua orang jadi muram dan helaan napas panjang terdengar begitu jelas, walau semua menyembunyikannya dengan sangat lihai.

Aku melirik Bagas yang ada di sampingku, cowok itu tidak protes, tidak mengatakan apa-apa, dan ekspresinya datar saja.

Namun, aku tahu sekali. Tidak ada yang baik-baik saja setelah diremehkan begitu. Apalagi aku tahu Bagaskara adalah tipe gila belajar yang pencapaiannya di sekolah membuat iri. Dan demi apapun, banyak sekali murid yang ingin ada di posisinya saat ini.

Termasuk aku.

Dengan berani aku menatap Om Bandi, lalu mengalihkan pandangan dengan kerling jahil ke arah Mas Candra. “Aku tahu ini telat, tapi congrats, Mas! Dan mungkin dulu Mas Candra gampang banget jadi ranking satu paralel karena saingannya bukan aku,” ujarku seraya mengedipkan satu mata.

Mas Candra langsung tertawa, sehingga membuat suasana meja makan jadi kembali hidup. “Oh, jadi kamu yang bikin ranking Bagas melorot semester ini?”

Yes, I am,” ujarku dengan bangganya dan dari samping Bagas, aku dapat melihat senyum cowok itu kembali terbit. Dan obrolan kami selanjutnya banyak membahas persainganku dengan Bagas, kami yang duduk sebangku, dan selera musik cowok itu yang busuk. Padahal, selera musik kita sama.

HAHA.

august. (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang