we can't be friends, but I'd like to just pretend

205 37 0
                                    

“Maafin gue ya, Luna, karena nggak bisa ngelatih lo renang. Tapi malah ngerepotin lo begini,” ujar Kak Novita dengan ekspresi tak enak yang sangat kentara di wajahnya.

“Santai aja Kak Nov, gue tahu lo emang lagi sibuk. Semangat buat olimpiadenya! Semoga buku gue ini membantu, ya!”

Semalam Kak Novita memang menghubungiku untuk meminjam buku catatan IPA kelas 11 untuk membantunya belajar dalam rangka persiapan olimpiade sains yang akan ia ikuti minggu depan. Sehingga di hari Senin yang cerah ini, kami janjian untuk bertemu di perpustkaan sebelum upacara dimulai.

Kak Novita menghela napas panjang. “Emang gara-gara olimipiade gue jadi sibuk banget sih. Belum ngerjain tugas dan kerja part time. Pokoknya bulan ini energi gue betulan dikuras banget,” keluhnya. “Dan tentu aja buku lo bakal sangat membantu, Lun. Sekali lagi terima kasih, kalo nanti gue menang gue traktir, ya!”

“Pasti menanglah! Semangat, Kak! Dan jangan lupa jaga kesehatan, percuma kan kalo di hari-H olimpiade lo malah sakit.”

“Iya, nanti gue pas jam istirahat juga bakal check up di UKS. Badan gue rasanya agak nggak enak. Hah ... Pokoknya di kehidupan selanjutnya gue berhak jadi nepo baby yang orang tuanya kaya raya tujuh turunan. Terus tugas gue cuma belajar tanpa mikirin beasiswa, kalo capek tinggal liburan ke Paris atau Maldives!” seru Kak Novita berapi-api, yang membuatku langsung ngakak—lalu Kak Novita juga ikut tertawa keras.

“Amin paling serius, Kak! Makanya kalo ada orang yang bilang money can't buy happiness itu bullshit! Nyatanya money can buy everything, coy!”

Sebagai sesama murid beasiswa aku benar-benar paham perasaan Kak Novita. Harus berusaha dapat nilai tertinggi, ikut berbagai lomba akademik agar prestasinya menonjol di sekolah, lalu masih harus part time dan nugas, semua itu benar-benar melelahkan luar biasa. Soalnya murid yang nggak pernah belajar tapi pinter itu cuma ada di novel, di realita kami benar-benar belajar mati-matian. Ikut kursus dan les ini itu—yang tentunya butuh banyak uang hingga harus part time sana sini, dan bangun jam 3 pagi hanya untuk hafalan. Benar-benar melelahkan sekali, tapi katanya hasil nggak pernah mengkhianati usaha.

Bersakit-sakit dahulu, senang-senang kemudian, kan? Masa depan memang misteri, tapi memperjuangkannya juga nggak merugikan sama sekali.

***

Seperti obrolan malam itu tidak ada artinya, kini aku dan Bagas sudah bersikap seperti biasa. Ia kembali menyebalkan, dan aku juga sama menyebalkannya buat cowok itu.

“Ngaku deh, lo kan yang masukin nama gue buat jadi volunteer di bazar buku sekolah di Senayan hari Minggu nanti? Kata siapa sih hari Minggu gue nggak ada acara? Dan kenapa lo daftarin nama gue, tapi lo nggak ikut?”

“Bukan gue yang daftarin! Udah gue bilang bukan gue!”

“Meh, di muka lo ada tulisan super gede dengan tulisan: ‘NGGAK BISA DIPERCAYA’!”

“Oh, sudah jelas lo yang halu. Karena biar gue tebak, pasti cuma lo doang yang bisa liat tulisan itu!”

Aku tahu saat ini Bagaskara ingin sekali menyentil dahiku atau menjitak kepalaku, tapi ia berusaha menahannya mati-matian. Karena ia tidak mau kalah dari permainan ‘adu tatap’ yang sedang kami lakukan hari ini.

Aku lupa kapan permainan ‘adu tatap’ ini dimulai. Yang jelas permainan ini tidak punya rules dan juga jadwal, bisa terjadi kapan saja dan tanpa rencana, tapi hanya ada satu hal yang sudah pasti; siapapun yang kedip duluan ialah yang kalah.

Dan siapapun yang kalah, harus mengikuti satu permintaan yang menang—apapun itu.

Keseringan sih gantiin tugas piket, atau membelikan makanan di kantin.

Saat ini aku dan Bagaskara tengah menjatuhkan kepala di meja dengan mata yang saling bertatap-tatapan. Dan tentu saja, sejak tadi kami terus berdebat tentang acara 'bazar buku sekolah' di mana ia bisa ikut jadi volunteer, padahal tidak  mengisi formulir relawan sama sekali. Ia menuduhku yang melakukannya sedangkan aku menyangkalnya mati-matian.

“Lagian kenapa sih lo harus sampai protes sampai segininya. Lo kan suka baca buku, jadi lo pasti bakal seneng deh kalo di sana.”

“Bukan masalah gue bakak seneng apa nggak di sana. Tapi lo kan yang masukin nama gue ke daftar relawan?”

Aku mengabaikan pertanyaan Bagas dan memutuskan untuk menatap mata cowok itu—untuk mencari tahu apa yang sebenarnya ia rasakan. Apa yang sebenarnya ia sembunyikan. Apakah ia benar-benar marah? Atau ia hanya pandai pura-pura?

Dan dari jarak sedekat ini, aku dapat melihat dengan jelas mata cowok itu yang hitam kecoklatan. Warna bibirnya yang sudah tidak sepucat kemarin, dan hembusan napasnya yang samar-samar tapi rasanya hangat.

Dan seperti biasanya, tatapan cowok itu selalu sama. Begitu lembut dan membuat aku hampir gila. Sial, kalau tidak berkedip sekarang aku benar-benar bisa hilang akal!

“Nah, bayik! Lo baru aja kedip, berarti kali ini gue yang menang. So, permintaan gue cuma satu, hari Minggu nanti lo nemenin gue jadi relawan!”

“Gue udah punya acara penting!”

“Nonton Doraemon dan Upin Ipin itu bukan acara penting!”

Aku mengabaikan ucapan Bagas dan memutuskan untuk berdiri dari dudukku dan menghampiri Clara yang mengajakku untuk pergi ke kantin.

Namun tiba-tiba Bagas memepetkan tubuhku ke tembok, membuka jas sekolah yang ia pakai, lalu mengikatkannya di pinggangku.

“Lo bawa pembalut?” tanya cowok itu yang sontak membuatku menggelengkan kepala karena terlalu malu untuk menjawabnya dengan kata-kata.

Sial, bisa-bisanya gue bocor di sekolah!

“Bentar, gue beliin. Sementara lo pakai jas gue dulu buat nutupin rok lo. Kalo lo sakit perut lo tunggu—”

“Yak! Gimana gue—”

Namun, belum aku selesai menyelesaikan ucapanku, cowok itu sudah berbalik badan dan keluar kelas lebih dahulu.

Jangan baper kepalamu, Bagaskara!

Aku dan Bagas tidak bisa jadi teman, tapi juga tidak bisa lebih dari teman.

Ia membuat garis yang begitu jelas, tapi ia juga yang melanggarnya sendiri dengan egoisnya.

august. (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang