a safe place

196 21 0
                                    

Aku mengikat rambutku dengan gaya messy bun, lalu keluar kamar mandi setelah mengganti bajuku menjadi baju renang yang enteng. Mungkin karena hari ini sudah malam, suasana kolam renang tidak begitu ramai.

Hanya ada seorang cewek yang mungkin sekitar 3 tahun di atasku yang tengah renang bolak balik dan tampak frustrasi—sepertinya sih ia baru saja putus. Dan beberapa orang yang tampak santai-santai saja di pinggir kolam renang sambil menikmati makanan atau minuman masing-masing.

Aku hari ini akan latihan renang dengan Bagaskara. Ternyata kemarin saat cowok itu bilang akan melatihku renang ia nggak bercanda sama sekali. Karena tadi sore, saat aku baru beres mandi tiba-tiba ia datang ke rumahku dan di sinilah kami sekarang. Di sebuah kolam renang umum tapi private yang ada di sekitar kosanku. Kolam renang ini memang tidak seekslusif Century, tapi tetap saja tempatnya bersih dan nyaman.

Bagas tampak tengah pemanasan di sisi lain kolam, lalu aku pun menghampiri cowok itu dan ikut pemanasan di sampingnya.

Aku mengedipkan satu mata menggoda. “Hell yah ... Pasti nggak bakal ada yang nyangka kalo princess Bagaskara Hartono—si putri salju kita ini, sekarang punya body roti sobek!”

Bagas memutar bola matanya. “Nggak usah mulai!” protesnya yang sontak membuat aku ngakak parah.

Lalu kami berdua pun terjun ke dalam air dan aku dapat merasakan dinginnya air kolam yang menyelimuti dari dada ke bawah. Aku langsung menepi di pojokkan, sedangkan Bagaskara langsung berenang satu putaran dari pojok ke pojok kolam renang.

Bagas memang selalu suka berenang. Makanya dari kelas 10 ia sudah masuk club renang. Cowok itu lebih sering nongkrong di swimming pool daripada cafe nge-hitz Jakarta. Makanya tidak heran ia menjadi salah satu perenang terbaik di sekolah kami, dan banyak memenangkan medali di olahraga ini.

Sambil menunggu Bagaskara puas berenang, aku pun duduk di pinggiran kolam dan memainkan kakiku yang setengahnya masuk ke air. Bulan tampak bersinar begitu terang malam ini, hingga cahayanya juga terpantul di kolam renang.

Setelah berenang dua kali putaran, Bagas kembali ke tempatku. Lalu ia menarik kakiku hingga akhirnya aku tercebur kembali ke kolam. Dan tentu saja hal itu membuatku langsung mengomel dan mengoceh macam-macam, yang malah membuat cowok itu semakin semangat untuk menggodaku. 

Untunglah Bagaskara sudah lebih baik. Walau bekas luka di bahunya masih tampak jelas meskipun sudah mengering.

Lalu setelah ia puas berenang, ia pun mulai melatihku renang dengan sabar. Dan memang benar kata Clara, kalau Bagas memang bakal jadi pelatih renang yang pas buatku. Karena mau mengeluh seperti apapun juga, Bagas tetap sabar mengajariku dan juga menyemangatiku. Hingga saat ini tubuhku lebih enteng saat di dalam air dan gerakanku lebih luwes. Memang nggak bakalan langsung jago dan aku bakal butuh banyak latihan, tapi setidaknya di praktek renang selanjutnya kemampuanku sudah lebih baik. Dan semoga Pak Budi—guru olahragaku puas dengan kemajuanku ini. Sedikit demi sedikit, baby step, perfect practice makes perfect. Begitulah aku menyemangati diriku sendiri hari ini.

Setelah lelah latihan renang kami berdua pun berendam di kolam renang dan hanya santai-santai.

Dan seperti biasa, aku mengalungkan kedua lenganku di leher cowok itu hingga tinggi kami sejajar. Sedangkan kakiku melayang bebas di dalam air.

“Kenapa lo mau ngelatih gue berenang?”

“Ya, karena kalo bukan gue yang ngelatih lo, siapa lagi? Di sekolah kita, gue salah satu yang terbaik.”

Aku menangkup kepala Bagas dengan kedua tanganku. “Mulai deh  besar kepala dan nyebelinnya double!” ujarku gregetan.

“Lha, kan emang fakta. Lagian kenapa lo dari awal nggak minta tolong sama gue?”

“Apa lagi? Tentu karena gengsilah!” jawabku jujur.

Dan Bagas langsung tertawa.“Oh, jadi gengsi minta tolong biar dapet nilai bagus. Tapi nggak gengsi nyatain perasaan duluan?” tanyanya menggoda.

“Heh, diem deh!” seruku seraya menutup mulut cowok itu dan sial pipiku pasti tengah memerah sekarang, karena wajahku kini rasanya seperti terbakar!

Tapi akhirnya kami tertawa bersama. Untuk saat ini, ini semua cukup. Makanya aku nggak bakal menuntut lebih.

Aku mengusap luka sayatan Bagas yang sudah berubah coklat. “Gue harap, lain kali lo bakal datang ke gue sebelum lo ngelukain diri lagi. Kapan pun lo ngerasa nggak aman, dateng ke gue, Gas. Atau ke mana pun yang bikin lo aman. Tapi please, don't hurt yourself again, because it's hurt me too.”

“Why?”

“You know why.”

Kali ini Bagas menangkup wajahku. “I am not okay, Lun,” ujar cowok itu seraya menatapku dengan mata memerah yang penuh kesakitan dan frustasi.

I know you're not. That's why, let me hug you.”

Setelah itu aku memeluk Bagaskara erat, dan cowok itu membalas pelukanku sama eratnya.

Aku harap bukan hanya dalam air yang membuat cowok itu merasa dipeluk erat. Aku harap Bagaskara tahu, kalau ia selalu bisa datang padaku saat ia lagi-lagi terluka atau iblis-iblis di kepalanya terlalu berisik. Aku harap cowok itu tahu, kalau aku bisa jadi salah satu tempat amannya.

Di mana ia bisa menangis dan rapuh. Di mana ia bisa remuk dan hancur. Di mana ia bisa mengekspresikan semua perasaan yang ada di dadanya. Di mana ia bisa menjadi dirinya sendiri. 

august. (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang