the pain in his eyes

236 24 0
                                    

Sekarang baru jam setengah lima pagi, tapi sudah ada yang mengetuk pintu kosanku walau ketukannya tidak pasti dan tampak ragu-ragu.

Aku mengucek mataku yang rasanya sepat, menguap lebar, lalu berjalan ke pintu depan dengan mata setengah terpejam.

Aku mengintip lewat jendela, dan keningku langsung berkerut begitu melihat seseorang yang figurnya begitu aku kenal tengah berdiri membelakangi pintu.

Aku tahu seorang Bagaskara memang jahil dan super duper—1000x—menyebalkan, tapi aku yakin nggak ada orang iseng yang mendatangi rumah orang lain pukul setengah lima pagi tanpa tujuan.

Aku merapikan rambut singaku yang acak-acakan parah, lalu membuka pintu dan Bagas langsung membalikkan badan begitu cowok itu mendengar suara khas pintu yang dibuka.

Awalnya aku ingin bertanya ada apa ia sampai datang ke sini subuh-subuh begini, tapi aku menelan semua pertanyaan yang sudah ada ditenggorokkan dan berjubelan di kepala, karena aku tahu cowok itu tidak sedang baik-baik saja.

Mata cowok itu tampak kosong dan merah—seperti menahan tangis dan sangat marah—mukanya juga begitu kuyu sehingga aku yakin ia tidak tidur semalaman. Rambutnya acak-acakan, dan ia masih memakai baju tadi malam.

Bagaskara terlihat begitu hancur, begitu marah, begitu sedih, begitu lemah, dan begitu kesakitan.

“Hi,” sapa cowok itu sambil tersenyum lemah.

Aku pun balas membalas senyuman Bagaskara. “Hi.”

Aku nggak tahu Bagaimana cara menghibur Bagaskara, aku juga belum tahu kenapa Bagaskara bisa sehancur dan terlihat sesakit ini, tapi aku pikir ini sebuah kemajuan karena akhirnya cowok itu mulai membuka diri.

Lalu sebuah ide menari di kepalaku, aku pun berganti pakaian dan memakai sepatu olahraga yang biasanya aku pakai hanya saat pelajaran olahraga. Lalu aku mengajak cowok itu untuk jalan-jalan keliling kompleks.

***

Kosanku memang ada di dekat sebuah kompleks perumahan yang jogging track-nya lumayan enak. Tapi karena aku tipe yang malas olahraga—kalau nggak dipaksa—aku jarang sekali menggunakan fasilitas ini.

Namun, hari ini pengecualian. Aku yang biasanya kalau hari Minggu bangun siang kini jadi si 5 am runner. Dan tentu saja lari memang nggak bakalan pernah jadi olahraga favoriku!

Haduhhhhhh, bengek coyyyyyy!

Aku berhenti di pinggiran taman lalu duduk di bangku yang tersedia karena aku sudah tidak sanggup berlari. Napasku ngos-ngosan, keringat membuat rambut dan poniku lepek, dan kakiku rasanya lemas luar biasa.

Sedangkan Bagaskara masih berlari di sekitar taman, ia terus berlari, dan berlari. Tak peduli napasnya sudah bengek, dan tubuhnya sudah lelah. Dan aku hanya melihatnya dari jauh saja. Karena mungkin ini akan membuat emosi apapun yang ada di hati dan kepalanya terlampiaskan.

Bagaskara tidak butuh hiburan apapun, dan aku nggak bakal memberikan hiburan apapun, aku hanya ingin cowok itu tahu kalau aku bakal selalu di sini. Menemaninya dan nggak bakal ke mana-mana.

Hingga akhirnya Bagaskara menyerah juga. Ia pun berhenti berlari dan duduk di tanah. Napas cowok itu naik turun dengan cepat, dan keringat tampak membasahi seluruh wajahnya.

Aku hendak turun dari bangku untuk duduk di samping cowok itu, tapi darah yang ada di kerah baju Bagas membuatku berhenti bergerak.

Lalu dengan gerakan hati-hati aku memeriksa bahu bagaskara, dan aku langsung sesak napas begitu melihat beberapa luka sayatan silet di sana.

Sayatan-sayatan kecil yang masih baru. Yang membuatku akhirnya langsung paham jika sakit yang dirasakan cowok itu sudah tidak tertahankan dan membuatnya hilang akal.

Lalu aku memeluk leher Bagas dari belakang dan menangis sambil menempelkan dahi di punggung cowok itu.

Dadaku sangat sesak, dadaku sangat sakit. Dan pasti berat sekali baginya untuk terus kuat, padahal menahan sakit yang amat sangat.

***

Harusnya 2x seminggu, tapi nggak tahu Sa pengen publish aja cerita ini hehe.

Selamat menikmati hari Sabtu!

Semoga nggak bosan baca cerita ini!

Sa,
Xoxo.

august. (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang