i can feel his pain

206 35 1
                                    

“Gas! Cemen banget sih lo, ah! Ayok naik ini!” rengekku seraya menarik-narik lengan Bagas, karena demi apapun di antara anak-anak yang naik komidi putar, aku nggak mau jadi 'bayi kawak' sendirian.

Bagas menyentil keningku, dan kali ini aku nggak sempat menghindar. “Ck, emangnya lo bocah apa? Gue ogah naik ini!”

“Ah, dasar cemen!”

“Okay, Miss nggak cengeng, sana kalo pengen naik, sendirian aja!”

“Seriusan lo nggak mau? Kenapa sih?” tanyaku serius dengan kening berkerut. Karena sejak tadi, walau mengomel dan protes macam-macam cowok itu benar-benar sama sekali nggak masalah saat aku ajak naik wahana apa saja. Bahkan, ia tidak protes saat aku paksa ikut melukis dengan glitter dan duduk bareng anak-anak umur 5 tahun. Makanya, benar-benar aneh saat seorang Bagasakara Hartono menolak naik komidi putar sampai segitunya.

Bagas tak menjawab pertanyaanku, ia hanya menuntunku ke tempat tiket komidi putar dan hal itu tentu saja langsung membuat aku tersenyum lebar. Sudah aku duga, mau protes dan menolak seperti apapun, Bagas pasti bakal luluh juga.

Namun, aku langsung cemberut begitu tahu kalau Bagas hanya membeli satu tiket. Yang berarti hanya aku yang bakal naik komidi putar.

“Yak! Kalo lo nggak mau naik! Ngapain beliin gue tiketnya, sih?”

“Karena gue nggak mau lo sawan gara-gara 'nyidam' naik komidi putarnya nggak terpenuhi, bayikkkkk!” ujarnya seraya mengacak rambutku, bukan jenis acakan yang membuat baper, tapi jenis acakan yang membuat poniku berantakan, ikat rambutku kendor, dan jepit rambutku hampir lepas. Dan tentu saja hal itu membuatku semakin cemberut dan manyun.

“Gue nggak mau naik! Dan please, deh, berhenti acakin rambut gue! Lo pikir benerinnya gampang!”

Bagas menjulurkan lidah dengan ekspresi jahil yang minta ditampol sendal itu.  “Emang sengaja. Anggap aja impas karena tadi lo udah 'hancurin' rambut gue duluan. Gigi dibales gigi, rambut dibales rambut, baby!”

“Your head, Gas!”

Belum sempat aku menggeplak kepala cowok itu, ia sudah menangkap tanganku duluan—menguncinya di belakang tubuhku seolah aku buronan, lalu memaksaku masuk ke dalam area komidi putar.

“Udah gue bilang gue nggak mau masuk sendirian!”

“Siapa bilang lo masuk sendirian?”

Dan aku langsung diam saat aku melihat Bagas juga ikut masuk ke arena komidi putar. Hanya saja, ia menunggu di pinggiran dan tidak naik wahana. Dan aku yakin sekali, menyogok abang-abang penjual tiket agar bisa masuk ke dalam tapi tidak naik, pasti lebih mahal daripada tiket itu sendiri. Bahkan, orang tua dari anak-anak kecil yang pada naik komidi putar nggak boleh menunggu di dalam. Hanya boleh menunggu di luar pagar atau naik saja sekalian.

So sweet isn't? Of course it is.

Itulah kenapa, sikap cowok itu benar-benar aneh. Sebenarnya, apa yang selama ini aku lewatkan?

Bagas versi yang ini benar-benar seperti orang lain.

***

Setelah puas berjalan di lapangan dan menikmati pasar malam dari ujung ke ujung, akhirnya aku merasakan kedua kakiku yang pegal dan tubuhku yang capek luar biasa. Sehingga akhirnya aku dan Bagas memutuskan untuk kembali ke Jasmine.

Aku menyapa Mbak Seina yang kebagian shift malam hari ini. Dan karena sekarang malam Minggu, tentu banyak anak muda yang hangout bersama teman atau kencan dengan pasangan. Sehingga Jasmine begitu ramai dan penuh.

Karena sudah tidak ada tempat, akhirnya aku dan Bagas pun memutuskan untuk pergi ke atap. Dan dari atas sini, keramaian pasar malam yang dipenuhi dengan lampu-lampu terang begitu terlihat jelas.

Jakarta tidak punya banyak bintang. Sehingga hanya tampak dua bintang di atas sana yang sesekali berkedip, mungkin mereka juga sedang kencan dan sedang saling goda.

Lagu Ring Pop milik Jax yang diputar di lantai bawah terdengar samar-samar dari atas sini. Membuat aku sesekali ikut bernyanyi karena ini memang salah satu lagu teratas di playlist-ku.

“Sekedar saran. Jangan pernah ikut Indonesian Idol, karena lo pasti sedih gara-gara ditendang begitu lo buka mulut!”

Fyi, gue nggak butuh, nggak perlu, dan nggak memedulikan saran lo! Tolong sarannya lo telen kembali,” dengkusku seraya memelotot pada cowok itu.

Dan hal itu langsung membuat Bagas tertawa. Jenis tawa yang tidak pernah aku dengar sebelumnya. Jenis tawa yang membuat aku tertegun beberapa saat karena aku nggak pernah tahu, kalau si menyebalkan ini ternyata bisa tertawa selepas ini. Tertawa tanpa beban dan begitu bebas. Hanya saja ... Tawa ini terdengar begitu menyakitkan. Seolah ia tengah menahan sesuatu mati-matian.

Lalu Bagaskara berhenti tertawa, dan kali ini ia menatap mataku seperti aku yang tengah menatap matanya. Tawa yang tadi menggema entah hilang ke mana, tersisa tatapan pedih yang membuat aku mati-matian menahan diri untuk tidak bertanya.

Tapi, satu hal yang pasti; saat ini Bagaskara tidak sedang menjadi dirinya sendiri.

“Biar gue tebak, pasti lo benci setengah mati sama gue?” tanya cowok itu tanpa memutus tatapan matanya. Mata itu tampak begitu sedih, seolah ia ingin berteriak karena bebannya begitu berat.

Hanya saja ... Ia memutuskan untuk menahannya mati-matian. Menahan apapun yang ada di kepala dan perasaanya sebenarnya.

Aku balas menatap Bagas. Aku nggak tahu apa yang ingin cowok itu dengar, tapi aku memutuskan untuk jujur lebih dulu. Untuk memberitahu cowok itu kalau ia juga boleh jujur soal perasaanya padaku—apapun yang ia rasakan tak perlu ia tahan sendirian. Karena ia juga boleh mengeluh.

“Tahu nggak, Gas? Sini gue kasih tahu sebuah rahasia. Sebenernya di malam pertama kita ketemu, gue rasa gue bakal jadiin lo cinta pertama gue karena lo bikin gue ngerasain perasaan norak kayak yang ditulis penulis novel romance yang kebanyakan halu itu. Tapi karena kelakuan minus lo malam itu, untungnya nggak jadi,” ujarku seraya memutar bola mata malas karena mengingat kelakuan Bagas saat kami pertama bertemu.

Bagaskara masih menatapku dengan tatapan kosong tapi penuh kesakitan itu. Namun, kali ini ia tersenyum. “Ya, untungnya nggak.”

Dan yang membuat perasaanku kacau bukanlah karena Bagaskara hanya merespons pengakuanku cuma dengan tiga kata, tapi kenyataan jika cowok itu benar-benar tengah menyembunyikan sesuatu. Sesuatu yang membuatnya terluka begitu parah.

august. (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang