Episode 19

112 79 7
                                    

JANGAN LUPA VOTE, FOLLOW, KRITIK DAN SARANNYA🔥
Typo, koreksi📌

●○●○●○

Pagi harinya, Nara terbangun dengan mata membengkak akibat menangis sepanjang malam. Setelah bersih-bersih dan bersiap, dia langsung berjalan menuruni tangga dengan perasaan berkecamuk.

Sesampainya di ruang makan, pandangannya langsung mencari sosok yang semalam dia tangisi, tapi nihil, dia tidak menemukan sosok itu di mana-mana.

"Baru bangun, Cil," sapa Harsya dengan menyenggol pelan bahu Nara, tetapi hal itu mampu membuat tubuh Nara terhuyung ke depan.

"Abang, jangan bikin Nara emosi pagi-pagi, bisa?"

"Gak bisa. Karena dengan bikin lo emosi, badan gue jadi segar bugar." Harsya membalas kekesalan Nara dengan menyentil jidat adiknya, lalu dia melangkah menuju meja makan tanpa memperdulikan muka Nara yang sudah memerah karena emosi.

Nara menghembuskan napasnya pelan. "Sabar Nara, jangan emosi, nanti wajah lo yang imut ini hilang!" ujarnya pelan, namun mampu didengar oleh pendengaran Harsya yang tajam.

"Bukan imut sih, tapi lebih ke amit-amit." Harsya tertawa puas karena berhasil membuat Nara memasang wajah masam. Sedangkan Nara langsung duduk di kursi, melempar pandangan sinis ke Harsya.

"Ada apa, kenapa pagi-pagi sudah ribut kayak habis debat pilpres?" tanya Haidar kepada kedua anaknya.

Nara yang semula memasang wajah cemberut langsung menarik senyum licik. Sedangkan Harsya yang melihat senyum itu, menelan ludahnya kasar, perasaanya tiba-tiba tidak enak, sepertinya sebentar lagi dia akan tertimpa musibah.

"Ayah, tadi bang Harsya bilang kalau Nara jelek mirip monyet. Berarti kalau aku monyet, otomatis ayah juga monyet, kan Nara anaknya, Ayah."

Nah kan benar, Harsya menatap horor pada Nara yang tersenyum kemenangan ke arahnya.

Haidar langsung melotot tajam.

"Apa benar itu, Harsya?" Bertanya dengan suara tegas yang membuat Harsya menegang.

Dengan panik Harsya langsung menyanggah tuduhan yang dilemparkan padanya. "Enggak, Yah. Harsya gak pernah bilang kayak gitu, jangan percaya sama ucapannya bocil setan, kalau Ayah percaya, berarti Ayah musyrik."

"Kalau adik kamu setan, berarti Ayah juga setan," balas Haidar dengan nada dingin.

Harsya mendelik dan menelan ludahnya susah payah.

"Salah lagi gue," keluhnya dalam hati.

"kenapa kalian kelihatan tegang?" Anita berjalan keluar dari dapur.

"Akhirnya, malaikat penyelamatku tiba. Terima kasih Bunda, sudah menyelamatkan aku dari malaikat pencabut nyawaku, alias suami tercintamu," batin Harsya bersyukur karena Bundanya datang di waktu yang tepat.

"Anakmu tuh, Bun, suka banget bikin Ayah darah tinggi."

"Sudah-sudah! Kamu itu sama saja kayak mereka, suka bikin aku pusing."

Haidar yang malah ikut disalahkan oleh sang istri menatap tak percaya istrinya.

Kemudian Anita duduk untuk memulai sarapan paginya. Tetapi pandangan matanya jatuh pada satu kursi kosong yang belum ada penghuninya.

"Loh di mana kakak kamu, Bang. Mengapa dia belum turun?" Menanyakan keberadaan anak sulungnya.

"Kayaknya kakak masih capek, Bun. Tadi pas Harsya ajak sarapan, dia bilangnya nanti saja. Katanya sih masih pengen tidur."

Detik dan DetaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang