🧇Rua bolas

7.4K 290 4
                                    

Malam hari telah tiba. Anggota tim basket putri yang berjumlah 10 orang itu, 11 termasuk satu guru, Pak Handri. Kini sudah pulang dan diantarkan ke rumah masing-masing.

Saat ini Ester berada di kediaman Leonardo karena Isvana. Isvana yang memaksanya untuk menginap di rumah ini. Kini Ester tengah duduk bersandar di kursi yang ada di dalam kamar Isvana. Ester sudah selesai mandi dan kini tengah mengenakan baju milik Isvana. Baju kaos hitam dengan celana joger putih. Sedangkan Isvana masih berada di dalam kamar mandi.

Ester mengamati kamar Isvana dengan sesekali tersenyum. Dia bahagia, Isvana hidup berkecukupan selama ini. Kamar yang besar, kasih sayang yang selalu keluarga Leonardo limpahkan. Dalam hati Ester, ia ingin merasakan kasih sayang dari orang tua. Sejujurnya Ester masih berharap jika kedua orangtuanya masih hidup. Karena Bu Nadia mengatakan, kedua orangtuanya meninggalkan dirinya dan Isvana di depan panti asuhan dengan sepucuk surat.

Di sana tertulis jelas mereka mengatakan, "Tolong jaga anak kami. Bayi dengan bedong warna biru, Estrella Ghannieze, dan bayi dengan bedong warna merah muda Isvana Ghitara. Mereka kembar. Kami terpaksa melakukan ini karena kami sedang dikejar oleh musuh. Kami mohon sayangi mereka berdua dengan tulus. Suatu saat jika kami masih hidup, kami akan kembali ke sini menjemput mereka berdua. Jika ada yang ingin mengadopsi mereka, izinkan. Biarkan mereka hidup dengan layak.

Biola Denata-Savior Denata.

Terima kasih. Kami titip mereka."

Masih besar harapan Ester untuk kedua orangtuanya kembali dan menjemput mereka. Setidaknya walau ia tidak dijemput kembali oleh kedua orangtuanya, dia berharap kedua orangtuanya masih hidup sampai sekarang. Setidaknya dia ingin melihat wajah dari dua orang itu.

Di tengah pikirannya yang terus berpikir, ketukan pintu di kamar Isvana membuatnya menoleh dan melihat sosok wanita paruh baya yang masuk ke dalam kamar.

"Isvana di mana?" tanya wanita itu yang tak lain adalah Feyna, sosok ibu angkat dari Isvana.

"Mandi," jawab Ester seadanya.

"Boleh Tante bicara denganmu?" tanya Feyna yang membuat Ester menoleh lalu menganggukkan kepalanya.

"Tapi kita bicara di bawah saja," ucap Feyna yang lagi-lagi diangguki oleh Ester.

Mereka berdua keluar dari kamar Isvana menuju ruang tamu yang ternyata di sana sudah ada Sadewa, dan kedua Kakak laki-laki Isvana.

Ester mengikuti Feyna dari belakang dengan santai. Dia tau tujuan apa yang membuat Feyna mengajaknya mengobrol bersama. Ini pasti soal dirinya yang merupakan kembaran dari Ester.

Saat sampai di bawah, Feyna mempersilakan untuk Ester duduk. Ester pun langsung duduk.

Feyna memulai pembicaraannya. "Ester, benar kamu kembaran Isvana?" tanya nya.

Ester hanya mengangguk.

"Ester, jika kamu mau terus bersama Isvana kamu bisa kami adopsi," ucap Feyna yang mendapat tatapan tidak suka dari Ester.

Dia tidak suka dengan pembahasan adopsi.

"Jujur, sebelumnya gue nggak nyangka kalau lo kembaran Isvana. Karena gue ngerasa kalian nggak ada miripnya. Dari gaya dan tingkah laku. Gue liat-liat, lo penampilan kayak cowok. Sedangkan Isvana dia benar-benar elegan. Tapi setelah dengar ucapan Papa kalau lo kembaran Isvana, gue akhirnya percaya. Lo kalau mau sama Isvana, biar Papa sama Mama adopsi. Lo nggak usah kayak nggak mau gitu diadopsi. Jujur, gue yakin dalam hati Lo, Lo pasti senang karena diadopsi oleh orang kaya. Tapi kalau tetap nggak mau, Lo lebih baik nggak usah temui Isvana lagi. Karena semenjak ada Lo, Isvana sering nggak peduliin gue," ucap Gavin dengan nada bicara yang benar-benar tersirat rasa tidak suka di dalamnya.

"Gavin, jaga bicara kamu!" tegur Feyna.

"Saya tidak ingin diadopsi. Dan kamu, saya tidak berminat dengan harta kalian. Saya nyaman dengan kehidupan saya sekarang. Saya bukan anak yang gila harta. Soal Isvana, di sini saya lebih berhak bersama dengan Isvana karena dia saudara kandung saya. Tapi jika kalian ingin saya pergi dari kehidupan Isvana, saya setuju. Mungkin ini salah satu cara mengucapkan terima kasih saya yang sebesar-besarnya kepada kalian, karena telah merawat dan membiayai hidup Isvana dari kecil. Saya siap pergi dari kota ini. Karena di sini saya hanya ingin memastikan kehidupan Isvana bahagia. Dan saya sudah melihatnya, dia bahagia tinggal di sini. Jadi tunggu saja, dia Minggu lagi pertukaran pelajar selesai, saya akan kembali ke Bandung," tegas Ester dengan tatapan datar. Jujur, dia merasa ucapan Gavin benar-benar keterlaluan. Dia bukan anak yang gila harta.

Dan Ester siap meninggalkan kota ini meninggalkan Isvana dengan keluarga mereka. Karena yang terpenting, Ester sudah melihat bagaimana kehidupan Isvana yang begitu bahagia.

Ester berdiri dari duduknya, dan langsung berpamitan. "Saya akan kembali ke asrama malam ini juga," ucapnya dan segera berlari menuju kamar Isvana untuk mengambil tas nya yang berisi barang-barangnya. Dia melihat Isvana yang belum keluar dari kamar mandi. Lama sekali anak itu mandi.

Ester jadi khawatir. Dia mengetuk pintu kamar mandi. "Isvana," panggilnya.

"Ya?" jawab Isvana. Ester bernapas lega mendengarnya.

"Mandi jangan terlalu lama, nanti sakit," ucapnya dan langsung menenteng tas nya keluar dari kamar. Dia berlari pelan di tangga itu. Sebelum dia keluar dari rumah itu. Dia mengucapkan salam kepada Feyna, Sadewa, Gavin, dan Gavan yang menatapnya sambil duduk di sofa ruang tamu.

"Permisi, assalamu'alaikum." pamitnya.

Dia berlari pelan keluar rumah. Sedang di dalam rumah, Feyna memarahi Gavin.

"Gavin, Mama harap kamu bisa jaga ucapan kamu. Dia anak gadis, dan selarut ini dia kembali ke asrama. Lalu, apa yang harus kita katakan kepada Vana?!"

"Biar Gavan yang antar dia, Ma," ucap Gavan yang langsung berdiri dari posisi duduknya dan langsung berlari keluar ke garasi.

Bersambung.....

*

Separated Twins : ESVANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang