Silawi

5K 192 5
                                    

25. Perubahan sikap

Pagi ini Ester bangun lebih telat dari kemarin. Bangun-bangun dia merasakan sakit pada wajahnya. Pasalnya pipinya bengkak, matanya ikut bengkak. Memar di pipi sebelah kanannya telah membiru dan bagian keningnya yang juga membiru. Pukulan kedua preman kemarin nggak main-main. Sangat sakit.

Ester langsung menuju kamar mandi untuk mandi.

**

Setelah selesai mandi, Ester langsung bersiap-siap dan turun ke bawah. Dia sedikit berlari karena jam sudah menunjukkan pukul 07.00 pagi. Dia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru arah. Di mana kedua orangtuanya dan Isvana? Dia tidak melihat keberadaan mereka.

Ester langsung keluar dari rumah dan menanyakan kepada penjaga depan rumah. "Pak, bunda, ayah, sama Isvana ke mana?"

"Itu, Non, Bapak sama Ibu ngantar Non Isvana ke sekolah."

Oh. Ternyata gitu.

"Terus Ester sama siapa?" gumamnya pelan yang sama sekali tidak di dengar oleh pak Anton, penjaga itu.

"Non mau sekolah?" tanya Pak Anton.

Ester mengangguk.

"Bapak antar, gimana?" tawarnya.

"Boleh, Pak." Ester bersyukur Pak Anton masih mau mengantarnya. Jika tidak, mungkin dia akan berjalan kaki ke sekolah, dan sampai pukul 10. Lalu ia akan telat dan dihukum.

Jadilah Ester sekolah diantar oleh Pak Anton.

**

Sampai di sekolah, jam sudah menunjukkan pukul 07.30 wib. Untungnya jam masuk sekolah ini pukul 08.00.

Ester turun dari mobil setelah mengucapkan salam dan menyalim tangan Pak Anton. Saat turun matanya terpaku pada satu titik. Mobil Ayahnya.

Saat dia amati lagi, ternyata di sana Ayahnya dan Bundanya sedang bercanda gurau dengan Isvana.

"Kenapa jadi gini? Kalau kayak gini, gue lebih baik balik ke Bandung." batinnya.

"Nggak. Lo kok jadi baperan gini sih, Ester."

Tanpa menunggu lama, Ester langsung berjalan masuk dengan wajah datarnya. Walau harus melewati keberadaan Isvana, Savior dan Biola. Dia tetap harus berusaha santai. Jangan tunjukkin kalau dia sedang tidak baik-baik saja.

Isvana yang menyadari keberadaan Ester langsung memanggilnya. "Ester, sini."

Ester hanya menoleh sekilas lalu sedikit tersenyum. Setelahnya dia langsung berlari masuk, tak ingin wajahnya dilihat banyak orang.

Savior menyadari perubahan putri bungsunya itu. Salahkan dia menuruti keinginan istrinya tadi pagi. Dan wajah Ester, ada apa dengan wajahnya? Savior sekilas melihat kebiruan di wajah Ester.

Tadi pagi, memang Biola memaksa Savior untuk mengantar Isvana tanpa menunggu Ester terlebih dahulu. Karena Ester tidak bangun dari tidurnya sedari tadi. Awalnya Savior menolak. Namun pada akhirnya setuju karena paksaan dari Biola yang tiada henti.

"Bund, muka Ester kenapa?" tanya Isvana yang menyadari wajah Ester terlihat memar-memar.

Biola terdiam tanpa menjawab. Dia melihatnya, wajah putrinya satu lagi memar-memar. Biola kembali berpikir, apa kelakuannya kali ini kembali menyakiti Ester?

Tidak, Biola rasa ini bukan dirinya.

Kenapa tiba-tiba dia lebih mementingkan Isvana daripada Ester.

Padahal hari itu dia dengan penuh harap mengajak Ester ikut dengannya.

Tapi kini, dia membedakan Ester dan Isvana.

Ini bukan dirinya.

"Isvana, kamu cari Ester dan lihat kondisi dia. Kabari Ayah lewat telpon," ucap Savior yang langsung diangguki oleh Isvana.

Isvana langsung berpamitan dan berlari masuk ke dalam sekolah. Sedangkan Savior menatap Biola dengan tatapan kecewa.

"Kamu lihat bagaimana sikap Ester pagi ini?"

Biola hanya mampu terdiam, merenungkan kesalahannya.

Sementara, di belakang sekolah, di bawah pohon, Ester tengah memikirkan tentang perilaku Biola sambil bersandar di batang pohon. Ia merasa ia tidak di butuhkan.

"Buat apa gue dijemput, kalau akhirnya kayak gini?" gumamnya pelan.

Seiring berjalannya detik dan menit, ia mulai menulis sesuatu di selembar kertas. 

"Hari itu, saat Bunda datang ke panti, gue ngerasa senang banget, karena akhirnya gue bisa ketemu Bunda. Dengan pertimbangan yang besar, aku ikut Bunda ke sini, ninggalin Ambu dan juga anak-anak panti yang lainnya. Saat itu juga, saat gue datang ke rumah Bunda, gue melihat sosok laki-laki yang tinggi, ternyata dia Ayah. Orang tua yang selama ini gue rindukan, hari itu bisa gue lihat sepuas mungkin. Hingga Isvana datang. Gue senang, gue sama kembaran gue akhirnya bersama dengan Ayah dan juga Bunda. Tapi gue rasa, sikap Bunda terhadap Isvana dan gue itu....beda. Entahlah, gue ngerasa Bunda sama sekali nggak butuh gue kalau nggak ada Isvana. Itu juga yang diucapin Bunda waktu itu kan. Kalau kayak gini jadinya, harusnya dari awal gue nggak usah dijemput dari panti. Biarin gue hidup di sana sama Ambu dan anak panti lainnya. Daripada kayak gini. Mungkin gue alay, karena nulis keluh-kesah gue di sini, tapi ini emang benar-benar perasaan gue. Mau alay kek, nggak peduli!"

Ester terkekeh pelan membaca kalimat terakhirnya. Tak berlangsung lama, ia segera menggumpal kan selembar kertas itu, dan diletakkannya, di antara semak-semak yang ada di dekat pohon yang dijadikannya tempat bersandar. Ia memejamkan matanya sebentar.

Sekitar 10 menit, ia mulai berdiri dari duduknya dan pergi dengan langkah pelan ke kelasnya.

Tanpa ia sadari, seseorang dari kejauhan sedari tadi telah mengamatinya.

Bersambung...

Separated Twins : ESVANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang