🧁pak

8.7K 319 0
                                    

04. Isvana?

***

Ester terus melamun hingga pesanan yang sudah dipesan Gia tiba.

"Gi, serius lo pesenin kita ini? Kita nggak punya duit sebanyak itu," ucap Selena meringis pelan melihat makanan yang dipesan oleh Gia.

"Kali ini, gue traktir," ucap Gia yang mendapat tatapan melongo dari Caca dan Selena.

"Serius nih?" tanya Selena dan Caca secara bersamaan. Gia dan Aya tersenyum.

"Serius," jawab Gia.

"Ester, silahkan dimakan," ucap Gia beralih menatap Ester yang tengah terdiam.

"Terima kasih," ucapnya yang diberi senyuman tulus oleh Gia.

"Sama-sama."

**

Selesai makan, kini mereka tengah duduk di lapangan seraya menonton para siswa laki-laki sedang bermain basket.

Sejujurnya Ester tidak mau berada di sini. Tapi, dia tak mungkin menolak keinginan Gia dan Aya yang notabennya sudah ia anggap teman.

Namun, kala matahari terus menerangi bumi dengan begitu memancar, Ester beringsut minggir menuju kursi yang ada di bawah pohon yang letaknya sedikit jauh dari tempatnya tadi duduk bersama keempat temannya.

Dia duduk sambil menikmati semilir angin yang menerpa wajahnya. Rambutnya ikut terbang mengikuti arah angin. Dia memejamkan kedua matanya.

"Kapan aku bisa bertemu dengan Isvana?" gumamnya sambil memejamkan mata dan menyenderkan tubuhnya di kursi.

Tak ada kegiatan lain. Dia tidak punya handphone. Uang yang dia gunakan di sini juga uang tabungannya. Ia tak ingin menyusahkan Bu Nadia. Masalah pekerjaan, dia memutuskan untuk tidak bekerja. Karena Bu Nadia mengancamnya. Jika dia bekerja, Bu Nadia tidak segan-segan akan marah kepada Ester. Ester sudah berjanji tidak akan bekerja. Dan dia akan menepati itu.

Untuk handphone. Handphone kemarin yang ia pakai bukan handphonenya. Melainkan handphone ibu panti. Bu Nadia sudah menyuruh Ester untuk membawanya, tapi Ester tidak mau. Katanya, itu milik Bu Nadia bukan miliknya.

Jam istirahat juga tidak ada habisnya. Pasalnya waktu istirahat di sini satu jam. Berbeda jauh dengan sekolahnya yang istirahat hanya mencapai waktu 15 menit.

Lama, dia duduk termenung, hingga tepukan pada bahunya menyadarkannya. Dia mendongak menatap seseorang yang menepuk bahunya. Ah, Ester baru sadar, ini bukan sekolahnya. Dan mungkin saja tempat yang ia duduki ini adalah milik orang yang menepuk pundaknya. Layaknya di novel-novel. Anak pemilik sekolah yang mengklaim segala tempat sebagai miliknya dan tidak boleh di duduki.

Ester berdiri menatap perempuan yang menepuk bahunya tadi. "Maaf," ucapnya.

Perempuan itu menaikkan alisnya. "Untuk?" tanyanya.

"Gue udah lancang duduk di kursi ini," jawab Ester dengan tenang. Pembawaan yang tenang membuat Ester terlihat tegas dan berwibawa.

"Nggak papa. Bukan milik gue, juga," ucap perempuan tadi yang tingginya jauh dari Ester. Mungkin, hanya sebahu Ester.

Ester terdiam memperhatikan wajah cantik dan cara duduk yang elegan itu. Dia tetap berdiri di tempatnya. Melamun.

"Hei, lo kenapa?" tanya perempuan itu sambil mengguncang tubuh Ester.

Ester tersadar dan menatap seseorang yang membuatnya sadar dari lamunannya.

"Nggak," jawabnya. Dan segera berjalan untuk kembali ke kelasnya.

Namun pergerakannya terhenti kala tangannya dicekal oleh orang itu. "Duduk dulu sama gue. Gue lagi nggak ada temen," ujar perempuan itu langsung menarik tangan Ester untuk duduk.

Ester duduk sambil kembali memejamkan matanya. Dia benar-benar ingin bertemu dengan kembarannya. Mungkin setelah dia melihat kembarannya itu, dia dapat tenang.

Seseorang yang duduk di samping Ester menghela nafas pelan memperhatikan tingkah Ester yang kaku.

"Kenalin, gue Isvana, kelas 11 IPA 2. Gue kayaknya tertarik sama lo. Eitss maksudnya tertarik buat temenan bukan suka," ucap Seseorang itu yang membuat Ester terkejut dan langsung membuka matanya.

"Isvana?" lirihnya dengan mata yang berkaca-kaca. Sungguh, apa benar itu kembarannya? Benarkah ya tuhan?

Seseorang yang ternyata adalah Isvana menatap heran ke arah Ester yang terlihat sedih. Tadi gadis itu kaku, sekarang sedih. Ada apa dengan perempuan di sampingnya ini?

Ester tersenyum. Jadi ini adalah Kakaknya. Cantik. Sangat cantik. Ester berkaca-kaca, dia bersyukur. Sangat bersyukur.

"Halo. Lo kenapa, kok kayak sedih?" tanya Isvana dengan heran.

Ester tersenyum dengan sorot mata sendu. Ingin rasanya dia memeluk Isvana dengan erat. Tapi, mungkin saja Isvana tidak mengenalinya. Ester akan mencoba tes.

"Punya kembaran?" tanya Ester tiba-tiba yang membuat Isvana mengerutkan keningnya.

"Gue?" tanyanya. Ester mengangguk.

Isvana sedikit berpikir. "Kenalin dulu nama lo, baru gue jawab," ucap Isvana.

"Ester."

"Gila. Nama lo bagus banget. Gue kira, gue doang yang punya nama bagus. Nyatanya nama lo bagus juga," puji Isvana dengan menganga. Sungguh, walaupun Isvana menganga, kecantikannya tidak pudar.

"Jawab," ucap Ester.

"Nggak. Gue nggak punya kembaran. Yang gue tau, gue anak bungsu keluarga Leonardo. Gue punya dua Abang, Gavin dan Gavan. Terus nama Papa gue Sadewa dan Mama gue Feyna," jelas Isvana yang membuat Ester tersenyum pahit.

Benar, Isvana tak mengenalinya. Ester berdiri dan pergi tanpa berkata apa pun. Isvana kembali menatap Ester heran.

"Aneh banget," gumamnya.

Bersambung...

Separated Twins : ESVANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang