Váratlan

925 7 0
                                    

Sebuah suara terdengar dari sebelah meja kerjaku yang dipisahkan sebuah lorong tempat lemari arsip berada, terdengar suara yang sangat aku hafal dan begitu khasnya.

Suara tersebut adalah milik teman sekaligus staffku Helisma, atau biasa dipanggil Eli. Aku melihatnya lewat jendela ruangan yang memisahkan ruangan kami. Wajahnya terlihat sangat ceria sambil mengobrol manja dengan HP berada dekat telinganya. Hingga akhirnya kedatanganku membuat dia terpaksa menjauhkan HP-nya dari telinganya untuk fokus mendengarkan permintaanku.

"Bagaimana bu?" ucapnya dengan sopan.

"Ba... Bu... Ba... Bu... emang aku ibumu, udah teleponnya? Ayokk udah laper nih, ke kantin yukk, nelpon aja."

"Hehe, maaf teh... maaf, ya." ucapnya sambil kembali meletakan HP-nya didekat telinga.

"Ehh sayang... ups, maksudnya nanti aku telepon lagi yah, si bos ngajak makan siang nih. oke... byee." ucapnya lagi yang terlihat salah tinggakah karena kata 'sayang' yang dia ucapkan.

"Dasar kamu... makanya buruan nikah sana, manggil sayang-sayang." ucapku yang memang sering bercanda ketus pada adik kampus sekalian bawahanku ini yang sekarang sudah menjadi teman akrabku di kantor selama enam bulan belakangan.

"Yee teteh sirik amat. Maklum teh aku kan baru puber, hehehe..."

"Ihh udah gede juga, puber apaan."

"Iya deh ngalah sama yang udah nikah, aku mah apa."

"Ihh kamu mah... ayok keburu jam makan siang selesai nih!"

Aku Shani dan juga temanku, Helisma. Kemudian melangkahkan kaki kami menuju sebuah kantin dekat dengan kantor pemerintahan tempat di mana kami berkerja untuk menyantap makan siang kami.

"Ehh teh, gimana kabar Aldi, nggak apa-apa dia sendirian sama pembantu di rumah?" Eli menanyakan kabar anakku satu-satunya.

"Nggak kok. Udah biasa ini, udah gede juga."

"kalau Mas Aksa?" tanyanya yang membuatku ikut membayang sosok yang ia sebutkan itu.

"Yah begitulah, masih banyak proyek, lagian dia juga sibuk buat ujian Tesisnya" ucapku yang kini membayang wajah suamiku, Aksa.

"Aduh... kok murung gitu si teh, maaf kalau pertanyaan aku buat teteh sedih, kangan yah?"

"Ya, gitulah Li. Namanya juga suami, pasti di kangenin lah mana lagi jauhkan, kamu aja yang bedanya cuman kecamatan tiap hari teleponan mesra-mesraan, apalagi aku yang beda negara."

"Ihh... apaan sih the. Jealous deh... kan sayang, tapi bener juga sih the. Hehehe..."

Akhirnya obrolan kami sedikit terhenti karena pesanan makanan kami sudah datang di meja. 1 porsi nasi ayam dan 1 porsi nasi rendang khas padang serta 2 gelas es teh, membuat fokus kami yang asik bercerita buyar karena perut yang keroncongan. Dengan lahapnya kami berdua menyantap makanan yang terasa begitu lezatnya hingga hanya menyisakan piring kosong dan juga gelas berisi es yang belum sempurna mencair.

"Wah emang kita udah lewat jam makan nih teh, ludes habis nih mah." ucap Eli dengan wajah cerianya.

"Ya kan gara-gara kamu asik teleponan kan, kita jadi telat makan."

"Hehehe... iya juga sih, teh. Masih 15 menit nih teh, nyantai dulu yah teh."

"Iya-iya... makananya juga belum turun."

Kami berdua akhirnya sedikit beristrahat di kantin yang ternyata masih ramai dengan para pengunjungnya dan membawa kami asik bercerita, terutama Eli, dia sedari tadi asik curhat tentang kekasihnya yang bernama Teja, yang menurutnya tajir juga baik padanya, selain itu dari foto yang ia tunjukan Teja juga terlihat ganteng.

Cerita PendekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang