05. ADA APA?

273 41 15
                                    

Sore hari ini, semua penghuni Wish's Home berkumpul di ruang tengah, menikmati waktu bersantai dengan beberapa camilan di atas meja. Sebuah rutinitas yang setahun lalu sudah sangat biasa, kini menjadi hal yang sangat langkah. Iya, semenjak memasuki semester baru, mereka sudah jarang berkumpul di kos karena kesibukan masing-masing. Bisa dibilang, di kos hanya menumpang tidur dan mandi saja.

"Bang, kalau gue tiba-tiba pindah ke Jerman gimana?" tanya Dean tiba-tiba yang membuat semua menatapnya dengan berbagai macam ekspresi, lebih ke terkejut dengan pertanyaan itu.

"Kenapa ngomong gitu?" Sean balik bertanya, ia sampai pindah duduk di samping Dean.

"Jangan bilang ini karena ibu lo?!" seru Reza yang jadi teringat dulu Dean pernah bercerita terkait permintaan ibunya itu.

"Gue sih terserah lo, Yan. Yang penting emang kemauan lo sendiri, bukan karena paksaan," ucap Yasha penuh penekanan.

Rey dan Saku yang awalnya duduk di lantai dan menikmati keripik kentang di toples, kini langsung berlari dan duduk menggapit Dean di tengah-tengah. Sementara Sean pasrah saat posisinya digeser oleh Saku.

"Jangan, Bang! Gue beneran nggak mau ketemu lo lagi kalau lo beneran pindah!" ancam Saku, mencebikkan bibir kesal, tapi terlihat sekali bahwa matanya berkaca-kaca.

"Di sini aja, Bang. Ada bakso depan kampus, ada gado-gado, ada nasi goreng depan komplek. Enak. Di Jerman mah nggak ada gituan, kurus lo entar kalau tinggal di sana!" ucap Rey yang diangguki oleh Saku.

Dean terkekeh, ia mengacak rambut dua orang itu dengan gemas. "Kan gue cuma tanya abang-abang, adek-adek ... nggak bilang kalau beneran mau pindah kok," ujar Dean.

"Beneran ya? Awas aja kalau bohong!" Saku menatap Dean dengan tatapan menyelidik, masih khawatir kalau-kalau kakaknya itu benar akan pindah. Ia tak mau kembali berlima, cukup saat Sean menghilang saja, ia tak mau merasakan lagi.

"Iya ... Udah sana balik lagi, Upin-Ipin dah main tuh!" usir Dean, mendorong kecil Rey dan Saku. Mereka berdua juga menurut saja, kembali duduk di lantai dan kali ini ribut karena berebut toples keripik kentang yang isinya sudah tinggal sedikit.

Sementara itu Dean yang awalnya tersenyum, jadi menghela napasnya sambil menundukkan kepala. Tapi ia jadi menoleh saat Sean mendekat dan merangkul bahunya.

"Gapapa, kalau emang gamau gausah dipaksa, bicarain baik-baik." Sean tersenyum, menepuk pundak Dean berkali-kali, berusaha menenangkan dan memberi kekuatan. Ia tahu, bahwa Dean tak mungkin mengutarakan pertanyaan tadi tanpa alasan.

Dean kembali menunduk dengan lesu. "Gue udah berkali-kali bilang nggak mau, tapi ibu nggak mau denger. Setiap hari telpon gue, maksa buat ikutin permintaannya," lirihnya.

Tak lama kemudian ponselnya yang berada di atas meja bergetar, menampilkan nama 'Ibu', bertanda bahwa ada panggilan yang masuk. Dean menghela napasnya, tangannya sudah ingin meraih ponsel itu, tapi kalah cepat dengan Reza.

Mata Dean membelalak saat Reza mengangkat panggilan telpon dari ibunya itu. "Halo tante, ini Reza. Dean sedang berada di kampus, hpnya ketinggalan di kos."

"Lagi?! Sudah berapa kali ini?! Masih muda kok pelupa!" omel Ibu Dean di seberang sana.

"Maaf, tante. Saya masih ada urusan, boleh saya tutup telponnya?" tanya areza di tengah omelan Ibu Dean.

"Iya, saya juga banyak urusan. Tolong nanti sampaikan ke Dean, suruh telpon saya. Terima kasih."

Tut

Sambungan telepon dimatikan secara sepihak oleh Ibu Dean, membuat Reza mencibir sejenak sebelum mengembalikan ponsel Dean ke pemiliknya. "Kalau ibu lo telpon lagi dan lo lagi nggak mau angkat, kasih ke gue," pintah Reza yang membuat Dean tersenyum senang.

"Makasih, Bang Ja!" serunya. Reza hanya berguman kecil meng-iya-kan. Ia berniat untuk masuk ke kamar, tapi lengannya ditahan oleh Sean

"Kenapa?" tanya Sean dengan pandangan menelisik, tangannya bergerak untuk menaikkan kaos lengan panjang Reza. Di sana terlihat lebam kebiruan yang lumayan lebar, membuat Dean, Yasha, bahkan Rey dan Saku ikut berdiri menatap Reza dengan khawatir.

"Bukan apa-apa," jawab Reza sambil menarik lengannya dan menurunkan lengan bajunya kembali, menutupi lebam itu.

"Ayah lo lagi?" tebak Yasha yang dijawab kekehan oleh Reza.

"Udahlah, nggak usah dibahas, dah biasa juga!" ujarnya mengibaskan tangan di udara, menyuruh mereka berhenti untuk membahas. "Gue ke kamar dulu, mau istirahat," pamitnya sebelum ia benar-benar masuk ke dalam kamar, diikuti oleh tatapan yang lain.

Suasana agak sedikit tegang, tapi dengan segera Sean menengahinya. "Udah, biarin Reja istirahat. Kalian juga, istirahat," pintahnya yang diangguki oleh mereka semua, meskipun tak bisa dielakkan bahwa mereka masih mengkhawatirkan keadaan Reza.

Sean berdiri, ia beralih menatap Yasha. "Yas, bisa bicara bentar?" tanyanya.

Yasha mengernyit bingung, "Gue?" tanyanya balik.

"Kan, Yas di sini cuma lo, bang Yas!" desis Saku, terlihat kesal sekaligus gemas dengan tingkah abangnya satu itu.

Yasha mengedikkan bahu tak acuh, ia melewati Rey dan Saku begitu saja untuk mengikuti Sean yang masuk ke kamarnya. "Tumben, Bang? Penting ya sampai harus bicara di kamar?" Yasha bertanya bingung.

Sean tersenyum tipis, ia mengeluarkan sebuah kotak hitam seukuran buku tulis dan memberikannya ke Yasha. "Buka!" pintahnya.

Dengan dahi yang mengernyit bingung, Yasha menurut, membuka kotak itu. Matanya membelalak penuh saat melihat isi dari kotak itu.

"Bang, ini—"

"Jelasin!" pintah Sean dengan suara tegas. Matanya menyorot tajam, menatap Yasha penuh intimidasi.

"Lo dapet kotak ini dari mana, Bang? Sial! Siapa yang ngikutin gue?!" umpat Yasha tak memedulikan Sean, emosinya naik begitu saja saat mengetahui bahwa ada orang yang mengikutinya.

"Yas—"

"Ini nggak kayak yang lo bayangin, Bang. Sumpah! Gue nggak ngapa-ngapain di sana! Gue ..." Yasha kehilangan kata-katanya, ia terduduk di bibir kasur Sean sambil mengacak rambutnya frustasi.

Melihat itu, Sean menghela napasnya. Ia mengambil kembali kotak ditangan Yasha beserta isinya dan ia taruh di meja belajar. Setelah itu Sean mendudukkan diri di samping Yasha.

"Gue nggak pernah larang lo apapun, Yas. Gue tahu batasan. Tapi gue mohon, jauhi club, alkohol, dan rokok. Satu lagi, mainin cewek. Gue nggak bakal maafin empat hal itu."

Sean tersenyum, menepuk punggung Yasha beberapa kali. "Lo udah gue anggep sebagai adik gue sendiri, Yas. Semua anak kos ini juga. Jadi, gue nggak mau lo kenapa-napa. Gue percaya lo pasti punya alasan, tapi apapun alasannya, gue nggak akan pernah ngebenerin apa yang lo lakuin."

Setelahnya, Sean beranjak keluar dari kamar, meninggalkan Yasha yang sedang bergelut dengan pikirannya sendiri.

Tangan Yasha mengepal, ia berdiri dan menyorot tajam foto-foto dirinya yang sedang berada di club malam bersama beberapa cewek berbaju tak pantas. Ia mengambil foto-foto itu dan merematnya dengan penuh emosi.

"Bangs*t, gue dijebak!"

~✨~

Aloo, kembali lagi dengan Wish's Home. Mungkin di sini agak lewat dari konteks sebelumnya. Hmmm, gimana ya, pokoknya gitu deh.

Kita liat kelanjutannya saja~
See u next chapter~ semoga suka~

Anyeonghasion~

Wish's Home 2.0Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang