13. MALAM YANG PANJANG

311 40 24
                                    

Yasha duduk termenung di kursi tunggu depan IGD. Di dalam sana, Sean masih ditangani. Kedua tangan Yasha terkepal sedari tadi, mengingat bagaimana wajah pucat Sean dan beberapa lebam di wajah kakaknya itu, juga darah yang merembet keluar dari kepala Sean ... Yasha benar-benar marah.

"Di rumah sakit malam-malam nggak usah bengong!" Reza baru saja datang setelah mampir sejenak ke kantin rumah sakit, untung masih buka, ia memberikan sebotol air mineral kepada Yasha. "Kalau lo kerasukan, gue yang repot entar!"

Yasha tak menanggapi, ia hanya menerima botol air mineral itu dan menegaknya dengan rakus sampai kandas. Setelahnya, ia meremat botol itu untuk menyalurkan emosinya.

"Gue nggak bisa diem aja di sini, Ja!" ucap Yasha tiba-tiba. Ia hendak berdiri tapi urung karena tarikan dari Reza, membuatnya kembali terduduk.

"Gue tahu lo marah, gue juga. Tapi jangan gegabah. Gue nggak mau ada yang luka lagi." Reza menghela napasnya panjang, ia menepuk-nepuk punggung Yasha pelan, mencoba menenangkan emosi Yasha yang saat ini masih meluap-luap.

"Udah lo pastiin kalau itu si Javan?" tanya Reza.

"Gue yakin!" Yasha menjawab dengan pasti. Ia begitu yakin bahwa ini merupakan ulah kakak tingkatnya itu. Karena sejak pagi, ia sudah menerima pesan ancaman.

Ia menyesal karena ia berpikir itu hanya pesan iseng. Ia baru terpikirkan kemungkinan terburuk saat Rey bilang bahwa Sean tak bisa dihubungi, hingga sebuah pesan kembali masuk. Bukan pesan tulisan, hanya sebuah foto yang menampilkan Sean sedang sibuk melayani pembeli di minimarket, dan ia tahu bahwa ada pesan tersirat kenapa pengirim pesan mengiriminya foto itu.

Benar saja, ada maksud lain. Dan ia menyesal karena terlambat menyadarinya hingga membuat Sean celaka seperti saat ini. "Bang Sean celaka karena gue, Ja," lirihnya dengan kepala menunduk.

Reza menggeleng kuat. "Nggak, lo nggak salah. Ini musibah, Yas. Kita nggak bisa cegah. Kalaupun ada yang harus disalahin, ya itu harusnya si Javan sial*n itu!"

Yasha masih menunduk, ia tak memedulikan apapun saat ini. Ia hanya berharap bahwa Sean baik-baik saja. Jika terjadi sesuatu pada Sean, ia tak akan memaafkan dirinya sendiri.

"Btw, lo udah minta bantuan temen teknik lo itu kan buat lacak nomor itu?" tanya Reza yang diangguki oleh Yasha.

"Tapi belum ada kabar lagi," gumam Yasha.

"Gapapa, kita tunggu dulu. Gue juga udah minta bantuan temen gue buat periksa CCTV yang ada di sekitar jalanan dari minimarket sampai kos kita. Tenang aja, nganalisis kasus kek gini udah jadi makanan gue sehari-hari di sosio," kekeh Reza, mencoba mencairkan suasana. Tapi ia tak main-main dengan ucapannya.

Namun, Yasha hanya menanggapi dengan anggukan kepala saja. Keheningan melahap keduanya, tak ada yang membuka suara lagi. Hingga ponsel Yasha berbunyi, menandakan ada pesan masuk. Yasha segera membuka pesan itu.

Iya, besok. Sudah malam.

Yasha menipiskan bibir dan menyimpan kembali ponselnya tanpa berniat membalas pesan itu.

"Siapa, Yas?" tanya Reza yang penasaran.

"Ibunya bang Sean," jawab Yasha.

Reza menaikkan sebelah alisnya, "Apa katanya? Masih bodoamat kah?" tanya Reza lagi, diikuti dengan kekehan sinis.

Yasha hanya mengedikkan kedua bahunya. Ia memang tak berharap lebih dari respon keluarga Sean. Ia hanya mengabari saja, kali saja hati mereka sedikit terbuka.

"Mbak Sena gimana?"

"Belum gue kabari, besok pagi aja, kasian udah malem."

Reza mengangguk, membenarkan ucapan Yasha. Berbeda dengan keluarga Sean, Sena akan selalu menyempatkan waktunya untuk Sean. Kalaupun mereka mengabari keadaan Sean sekarang, gadis itu pasti akan langsung datang meskipun tengah malam sekalipun. Jadi, Reza pun heran, karena jika ditanya mengenai hubungan, keduanya hanya akan menjawab 'teman'.

Wish's Home 2.0Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang