06. KEKHAWATIRAN SAKU

296 44 19
                                    

Suara ketikkan keyboard menggema di ruangan yang temaram itu, sosok lelaki dengan kacamata yang bertengger di atas hidungnya itu menguap lebar. Satu tangannya ia angkat untuk mengucek matanya yang sungguh berat. Rasanya, ia ingin segera mengelana di alam mimpi.

Tangannya berhenti sejenak untuk mengetik, ia menghela napasnya berat. Sebenarnya, ia masih memikirkan apa yang ia dapatkan siang tadi.

Sebuah kotak hitam yang berisi foto-foto Yasha di club malam. Itu sangat mengganggu Sean. Ada dua hal yang menjadi pertanyaan besar dalam benak Sean.

Apa alasan Yasha sampai memilih masuk ke tempat itu? Dan siapa orang yang mengiriminya kotak hitam itu?

Bukan hanya itu, tapi pikirannya juga menebak-nebak apa yang terjadi dengan Reza. Apa yang membuat Reza mendapatkan luka itu dari sang Ayah?

Sean menggeram, kepalanya tiba-tiba berdenyut. Bukan sekali dua kali, tapi itu sudah menjadi hal yang sangat wajar baginya semenjak setahun lalu. Iya, pasca kecelakaan yang sempat mengakibatkan ia melupakan semua kenangannya.

Dalam setahun itu, ia mengalami banyak hal. Sena bercerita, bahwa selama enam bulan ia koma dan hampir merenggang nyawa jika saja waktu itu ia menyerah. Sean sendiri pun terkejut mendengar fakta itu, lebih terkejut lagi saat ia mengetahui bahwa ia melupakan hal yang paling berharga dalam hidupnya, yaitu Wish's Home.

Keluarganya? Sean ragu. Mereka masih sama. Namun, ia bersyukur keluarganya lebih sedikit menganggapnya semenjak kecelakaan itu. Sedikit, hanya sekadar menyuruhnya minum obat meskipun dengan nada ketus dan tatapan tak suka, tapi hal itu mampu membuat perasaan Sean sedikit memghangat. Setidaknya, ia tahu mereka peduli.

Tok tok tok

Sean mengangkat kepalanya, tangannya yang tadi memijat kepala jadi turun begitu saja saat melihat kepala Saku yang melongok di pintu kamarnya yang sedikit terbuka.

"Boleh masuk nggak, Bang?" tanya anak itu.

Senyuman Sean mengembang, ia mengangguk. "Boleh, sini!" Sean berdiri, mengajak Saku untuk duduk di bibir kasur, tepat di sampingnya.

"Kenapa? Mau cerita sesuatu?" tanya Sean, menatap Saku dengan tatapan hangatnya.

Saku menatap Sean sejenak, ia mengangguk, tapi kemudian menggeleng. Tapi mengangguk dan menggeleng kembali, membuat Sean terkekeh gemas.

"Duh, bingung banget, Bang!" keluh Saku, mengusap wajahnya sendiri dengan tangan.

"Kenapa? Pelan-pelan aja," ucap Sean, mengacak rambut Saku gemas.

Pipi Saku mengembung, ia merasa kesal. "Tau nggak bang? Di sini!" Saku menunjuk kepalanya sendiri. "Di sini, selain pusing sama tugas, praktikum, dan laprak. Di sini banyak banget pertanyaan yang buat Saku bener-bener kepikiran sampai nggak bisa tidur!" jelasnya menggebu-gebu.

Kernyitan jelas tercetak di dahu Sean. Mengabaikan kegemasannya pada cara Saku bercerita, ia lebih fokus pada apa yang Saku sampaikan.

"Yaudah, tanyain pertanyaan itu ke abang, mungkin abang bisa jawab," ucap Sean dengan tenang.

Kepala Saku mengangguk, ia menatap Sean. "Pertama. Kepala Bang Sean masih sakit? Soalnya Saku sering liat abang pegang kepala, mijit kepala, merem kek nahan sakit gitu ... Sakit banget ya, Bang? Boleh nggak sih, sakitnya pindah ke Saku aja?"

Sean tersenyum tipis, ia membalas tatapan Saku. Tangannya reflek menepuk-nepuk puncak kepala adiknya itu. "Gapapa, cuma sakit dikit. Dan sakitnya nggak boleh pindah ke Saku, pokoknya Saku harus sehat-sehat."

Ucapan Sean itu membuat Saku mengerucut sebal. "Bang Sean juga sehat-sehat, jangan sakit, Saku nggak suka!"

Sean terkekeh, gemas sekali dengan anak itu. "Iya, nggak bakal sakit lagi. Yaudah, pertanyaan kedua apa?" tanya Sean yang membuat Saku kembali menegakkan punggung.

Wish's Home 2.0Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang